Salah satu problem pemecah-belah bangsa adalah munculnya sentiment/kebencian dalam aktivitas politik. Maka, sangat disayangkan jika ada seorang cendikiawan justru terlibat dalam hal itu. Sebagaimana contoh, terkait potongan ceramah Cak Nun yang viral karena menyebut Presiden RI Joko Widodo sebagai Fir’aun.
Meskipun ungkapan tersebut telah diklarifikasi Cak Nun. Namun, ini tidak serta-merta akan menghentikan arus “gejala sentimental” itu. Sebab, ungkapan ini akan terus dimanfaatkan oknum-oknum sebagai alat “legalitas kebencian”. Potongan video itu akan terus diabadikan, disebar dan dijadikan alat provokasi kebencian di pemilu 2024.
Maka, dari sinilah pentingnya kebijaksanaan para Cendikiawan di Indonesia. Untuk mewarnai siklus tahun politik menjelang pemilu 2024 agar bersih dari politik identitas dan politik kebencian. Bukan justru menjadi “aktor” provokatif yang kebablasan menodai siklus tahun politik dengan sentiment/kebencian.
Secara personal, Saya telah begitu lama berdekatan dengan sosok Cak Nun melalui karya tulisannya mau-pun video dalam sesi ngaji ilmu dari Beliau. Beliau adalah sosok cendekiawan Islam Indonesia sekaligus budayawan yang membawa semacam paradigma keislaman yang korelatif dengan konteks keindonesiaan kita.
Cak Nun adalah sosok yang mampu menjelaskan secara sederhana tentang segala perkara hukum Islam, nilai Islam, perkara kebenaran Al-Qur’an, entitas sejarah dan segala yang berkaitan dengan kultur beragama, berpolitik, ekonomi dan pendidikan di Indonesia. Cara pandang beliau begitu menyinari paradigma keilmuan berislam dan ber-keindonesiaan kita.
Pentingnya Kebijaksanaan dan Kehati-hatian dalam Menyampaikan Segala Hal
Ungkapannya tentang Presiden RI Joko Widodo yang disebut Fir’aun, kini Cak Nun telah mengklarifikasi. Beliau telah meminta maaf dan menyampaikan sesuatu yang dia sebetulnya tidak ajarkan. Beliau menyadari tentang sesuatu yang tidak boleh dilakukan oleh siapa-pun namun Beliau lakukan, yaitu bersifat sentiment.
Dari kejadian ini seharusnya menjadi pelajaran penting bagi siapa-pun. Entah seorang cendekiawan, tokoh agama dalam ceramah-nya dan siapa-pun dalam berucap atau menyampaikan sesuatu. Agar, selalu berhati-hati baik menyampaikan ceramah, argumentasi, kritikan dan sebagainya.
Mengapa? sebagaimana yang disampaikan oleh Prof Quraish Shihab. Bahwa dalam berdakwah harus menyampaikan secara pelan-pelan, penuh kehati-hatian dan mempertimbangkan apa yang ingin disampaikan, agar tidak salah ucap.
Sebab, problem besarnya ketika salah ucap, kebablasan dan tak terkontrol. Maka yang timbul adalah ungkapan-ungkapan yang bisa menyakiti perasaan orang lain, menghina dan bahkan ungkapan yang justru akan menjadi masalah. Sebab, akan ada kesadaran untuk menyesali apa yang kita ucapkan setelah pikiran kita dalam keadaan tenang tanpa terbawa arus emosi.
Dari sinilah ke depannya untuk lebih berhati-hati. Usahakan mampu membangun pola komunikasi yang sangat mempertimbangkan banyak hal. Agar tidak terjebak ke dalam kebencian, hinaan dan bisa mengontrol apa yang kita sampaikan agar tidak membawa mudharat. Hal ini tentu juga dibenarkan oleh Cak Nun.
Peran Cendikiawan dalam Mendamaikan Umat Menjelang Pemilu 2024
Panasnya perhelatan politik menjelang pemilu 2024 sangat terasa hingga saat ini. Artinya apa? perlu adanya sosok Cendikiawan dan bahkan segenap elemen berpengaruh di masyarakat. Untuk membangun kesadaran umat tentang pentingnya menghindari politik identitas, sentiment dan perpecahan.
Mendamaikan umat sangatlah penting. Sebab, ancaman perpecahan, anarkisme dan kehancuran selalu muncul ketika pesta demokrasi dipenuhi oleh virus sentiment, politik identitas dan anarkisme. Dari sinilah yang harus menjadi catatan penting di balik peran para Cendikiawan itu seharusnya bijaksana membangun perdamaian bukan memecah-belah.