Genealogi Sentimen Anti-China; Dari Kebencian Rasial ke Politisasi Identitas

Genealogi Sentimen Anti-China; Dari Kebencian Rasial ke Politisasi Identitas

- in Narasi
459
0
Genealogi Sentimen Anti-China; Dari Kebencian Rasial ke Politisasi Identitas

Saban perayaan Tahun Baru China (Imlek), sebagian dari kita barangkali akan membuka ingatan tentang sejarah panjang ketidakadilan yang diterima etnis Tionghoa. Membincangkan etnis Tionghoa dalam sejarah Indonesia, barangkali ialah membuka ingatan dan trauma lama tentang peristiwa penidasan dan kekerasan yang mewarnai dinamika sosial-politik kita. Harus diakui, etnis Tionghoa merupakan kelompok yang paling sering menjadi sasaran sentimen kebencian.

Sejak era Orde Lama, Orde Baru, sampai Reformasi, sentimen anti- Tionghoa seolah tidak pernah surut dan terus direproduksi dengan berbagai kepentingan. Sebagai kelompok minoritas, etnis China seolah terbiasa menjadi obyek perundungaan massal bahkan sasaran amuk kekerasan. Puncaknya terjadi pada peristiwa kerusuhan Mei 1998 yang mengiringi berakhirnya rezim Orde Baru.

Pertanyaanya, darimana akar genealogi kebencian dan sikap anti-China itu berasal sehingga langgeng hingga saat ini?

Jika ditilik dari kronologi sejarah, bisa disimpulkan bahwa akar kebencian terhadap etnis-Tioghoa itu berasal dari dua hal. Pertama, adanya sentimen kebencian rasial yakni sikap benci pada kelompok yang didasarkan pada identitas etnis dan ras. Kebencian rasial pada etnis Tionghoa ini terjadi karena anggapan bahwa etnis Tionghoa bukanlah ras pribumi, melainkan pendatang dari luar.

Kebencian rasial ini merupakan akumulasi dari sikap curiga dan takut pada keberadaan kelompok etnis atau ras lain. Di lapangan, sikap curiga dan takut ini kerapkali dilatari oleh motif ekonomi dan sosial. Seperti kita tahu, mayoritas keturunan China yang ada di Indonesia dikenal memiliki etos kerja tinggi, pandai berniaga, ulet, dan menerapkan manajemen finansial yang ketat. Maka, menjadi wajar jika sebagian etnis China cenderung mendominasi di sektor perdagangan, bisnis, dan sektor ekonomi pada umumnya.

Kesenjangan ekonomi dan sosial inilah yang menjadi embrio bagi lahirnya kecemburuan yang berujung pada suburnya sentimen anti-China di tengah masyarakat. Hal ini kian diperparah dengan tradisi dan agama etnis Tioghoa yang dalam banyak hal berbeda dengan mayoritas masyarakat Indonesia. Akumulasi persoalan ekonomi, sosial, budaya, dan agama inilah yang melatari tumbuhnya sentimen anti- Tionghoa di Indonesia.

Etnis Tionghoa dalam Pusaran Politik Identitas

Kedua, adanya praktik politisasi identitas yang dimulai sejak era Orde Baru. Amy Freedman sebagaimana dikutip Armand Dhani menyebutkan bahwa kebencian terhadap etnis Tionghoa merupakan hasil politik pecah-belah yang diterapkan oleh rezim Orde Baru dibawah kepimpinan Soeharto. Rezim Orde Baru melabeli etnis China sebagai simpatisan gerakan komunisme sehingga dipersepsikan sebagai ancaman negara.

Politik Orde Baru menempatkan etnis Tionghoa bukan sebagai pribumi, melainkan sebagai pendatang. Rezim Orde Baru seolah tidak peduli bahwa penduduk keturunan China banyak yang lahir di Indonesia. Di saat yang sama, rezim Orde Baru juga melarang segala bentuk ekspresi identitas, kultur, dan agama etnis Tionghoa di ruang publik. Tidak hanya itu, etnis Tionghoa juga mendapatkan perlakuan diskriminatif di ranah birokrasi, politik, dan pemerintahan.

Puncaknya, rezim Orde Baru mengeluarkan kebijakan asimilasi bagi etnis Tionghoa. Kebijakan asimilasi ialah upaya rezim Orde Baru untuk melucuti identitas etnis Tionghoa dan memaksa mereka untuk mengadaptasi sepenuhnya kultur Indonesia. Salah satu bentuk kebijakan asimilasi ini ialah memkasa warga Tionghoa untuk berganti nama asli menjadi nama Indonesia (Jawa).

Di awal era Reformasi, pemerintahan Gus Dur sebenarnya telah mengambil langkah progresif dengan mencabut regulasi yang diskriminatif terhadap warga etnis Tionghoa. Salah satunya ialah menjadikan Tahun Baru China sebagai hari libur. Kebijakan ini dianggap sebagai momentum rekognisi dan afirmasi negara terhadap keragaman etnis. Meski demikian, nyatanya praktik diskriminasi dan rasisme terhadap etnis Tionghoa masih ada.

Pentingnya Rekonsiliasi Kebangsaan untuk Akhiri Rasisme

Rasisme dan kebencian terhadap etnis-China sudah sepatutnya diakhiri karena berbahaya bagi keutuhan bangsa. Bagaimana pun juga, kelompok etnis Tionghoa adalah bagian integral dari masyarakat Indonesia. Apalagi generasi etnis Tionghoa hari ini sudah beranak-pinak selama puluhan tahun di Indonesia. Mereka adalah warganegara Indonesia yang harus diperlakukan adil dan setara serta dijamin haknya.

Langkah penting untuk mengakhiri reproduksi kebencian terhadap etnis- Tionghoa ialah membangun kesadaran di tengah masyarakat bahwa sentimen kebencian terhadap etnis Tionghoa adalah konstruksi sosial yang dilatari oleh kepentingan politik. Langkah selanjutnya ialah mewujudkan rekonsiliasi kebangsaan yang melampuai sekat etnisitas.

Rekonsiliasi kebangsaan dimulai dari sikap rekognitif, yakni mengakui keberadaan etnis Tionghoa sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Kita harus membangun paradigma bahwa bangsa Indonesia bukanlah bangsa tunggal, melainkan majemuk dan terdiri atas etnis dan ras yang beragam. Di titik ini, klasifikasi pribumi dan pendatang menjadi tidak relevan.

Selanjutnya, rekonsiliasi kebangsaan juga mensyaratkan adanya sikap afirmatif, yakni komitmen untuk tidak hanya mengakui namun juga menghormati hak-hak kelompok etnis Tionghoa. Sikap afirmatif inilah yang akan mengeliminasi praktik diskriminasi rasial pada etnis China. Tahun Baru Imlek 2023 yang menandai dimulainya tahun Kelinci Air kiranya bisa menjadi momentum untuk melakukan rekonsiliasi kebangsaan. Dalam tradisi Tionghoa, tahun Kelinci Air menyimbolkan kemakmuran dan perdamaian. Simbolisasi itu kiranya bisa mewujud ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Facebook Comments