Maraknya narasi hoaks belakangan ini mengenai isu keagamaan dan politik menjadi upaya kelompok radikal untuk mewujudkan distrust kepada pemerintah. Apalagi menjelang pesta demokrasi ini, mereka berupaya untuk menciptakan konflik berbasis online yang pada gilirannya juga berdampak nyata di masyarakat. Hoaks yang mengandung narasi adu domba sebagai strategi pemecah belah menjadi andalan mereka untuk menggiring opini publik.
Di era kontemporer ini, sangat penting untuk mewaspadai narasi hoaks yang bisa menyebabkan disintegrasi di masyarakat. Oleh karena itu, pentingnya menggelorakan jihad online, dalam artian jihad yang bukan berperang melawan musuh (penjajah) an sich, namun jihad melawan informasi/berita hoaks yang bertebaran di media.
Mengingat saat ini sangat sukar membedakan antara berita hoaks dan fakta sebagai sumber informasi, hal ini selaras dengan masih minimnya budaya literasi komunikasi masyarakat dan budaya verifikasi yang menjadi simpul utama dalam mereduksi hoaks. Hal ini selaras dengan laporan dari Dewan Pers tahun 2020, terdapat sekitar 43.000 situs media di Indonesia yang mengklaim sebagai portal berita. Dari jumlah tersebut, yang sudah terverifikasi sebagai situs resmi tidak sampai 300 situs. Artinya terdapat puluhan ribu situs yang berpotensi menyebarkan berita palsu/ hoaks di internet, yang mestinya hal ini perlu diwaspadai.
Menurut Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Iswandi Syahputra (2019), komunikasi dari masa ke masa memang menentukan jenis dan pola penyebaran hoaks. Artinya, fenomena hoaks sudah lama terjadi, bukan baru-baru ini saja sejak hadirnya media sosial. Media sosial merupakan salah satu saluran komunikasi antar warga yang muncul dalam kultur media baru. Menurutnya, melalui berbagai platform media sosial, hoaks dapat diproduksi oleh siapa saja, di mana saja, kapan saja dan untuk tujuan apa saja. Hal ini berakibat pada pesatnya bertumbuhan hoaks karena tidak lagi didistribusi oleh aktor tertentu (resmi) melalui saluran tertentu dan untuk tujuan tertentu seperti pada kultur media tradisional. Sehingga, berbagai tatanan dalam relasi dan interaksi sosial mengalami perubahan karena distribusi dan konsumsi informasi juga mengalami berbagai perubahan.
Sedangkan mengacu pada survei Mastel (2019) tentang “Wabah Hoaks Nasional 2019”, sebanyak 87,50% hoaks di Indonesia disebar melalui media sosial. Namun, hasil ini mengalami penurunan dari 92,40% pada survei serupa tahun 2017. Meskipun kemudian mengalami penurunan sebesar 4,90%, namun media sosial tetap menjadi saluran yang utama dalam menyebarkan hoaks. Dalam konteks Indonesia, ini menunjukkan bahwa hoaks telah muncul menjadi wabah informasi pada era interaksi berbasis media sosial.
Peran Kaum Milenial
Hoaks menjadi masalah bersama, apalagi kaum muda milenial cukup rentan terpapar berita hoaks. Berita hoaks ini sendiri bukan hanya mampu menggiring opini publik, namun yang lebih parah dari itu, adalah mewujudkan/menciptakan spiral kebencian di ruang publik. Kebencian yang menggema dalam kantung-kantung percakapan (echo chamber) di media sosial tersebut dapat menjelaskan bagaimana hoaks muncul dan diterima sebagai kebenaran yang seolah-olah tampak benar. Artinya, hoaks muncul dan tumbuh dalam kantung percakapan di media sosial sebagai suatu proses dalam spiral kebencian yang muaranya kemudian melahirkan konflik sosial.
Untuk itu, kaum milenial yang menjadi pengguna mayoritas warganet di Indonesia perlu berupaya untuk mereduksi narasi hoaks yang bertebaran di media. Sudah saatnya kaum milenial menjadi aktor, bukan konsumen informasi belaka. Kaum milenial jangan sampai menjadi alat reproduksi narasi hoaks. Karena itu sangat berbahaya bagi kondusifitas ruang publik dan maya.
Pentingnya Tabayyun dalam Agama
Medsos dewasa ini menjadi bagian integral yang tidak bisa dipisahkan dari realitas masyarakat. Apalagi medsos banyak menjadi sumber informasi, dan seringkali kaum milenial tidak melakukan saring informasi sebelum men-sharing-nya kembali ke publik.
Secara teologis, tabayyun adalah akhlak dapat mewujudkan keharmonisan dalam pergaulan. Apabila seseorang meninggalkan tabayyun, maka akan merugikan diri sendiri dan orang lain. Tabayyun sangat dianjurkan dalam Al-Quran, sebagaimana termuat dalam surat Al-Hujurat ayat 6, artinya “Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu”.
Maka, jika kaum milenial meninggalkan sikap tabayyun, maka mereka akan lebih dekat kepada kebodohan (jahalah). Untuk itu, tabayyun menjadi akhlak yang sangat dianjurkan dalam agama Islam agar informasi yang didapatkan kaum milenial sesuai dengan fakta dan tidak ada kepalsuan di dalamnya.
Mengingat sebuah informasi tidak bisa diketahui apakah informasi itu benar atau tidak, bohong apa tidak sebelum dilakukan tabayyun, verifikasi dan klarifikasi. Oleh karenanya jangan sampai terjadi saling tuduh dan menyalahkan apalagi menjelekkan orang lain hanya karena kurang cermat dalam menerima berita. Hendaknya kaum milenial mencari kebenaran informasi dengan cara bertabayyun terlebih dahulu, yakni dengan mencari tahu sumber berita, kapan terjadinya dan mengklarifikasi serta memverifikasi kebenaran sebuah berita.