Tradisi Muludan; Akulturasi Islam dan Kearifan Lokal yang Mempersatukan Umat

Tradisi Muludan; Akulturasi Islam dan Kearifan Lokal yang Mempersatukan Umat

- in Narasi
550
0
Tradisi Muludan; Akulturasi Islam dan Kearifan Lokal yang Mempersatukan Umat

Bulan Rabiul Awal adalah momen istimewa bagi umat Islam di seluruh penjuru dunia. Demikian pula bagi umat Islam Indonesia. Bahkan, mungkin bisa dibilang umat Islam Indonesia adalah yang paling antusias menyambut bulan Rabiul Awal. Alasannya tentu saja adalah karena bulan ini merupakan bulan kelahiran Rasulullah Muhammad SAW.

Sosok Rasulullah tentu sangat istimewa di semua umat Islam di seluruh dunia. Siapa pun yang mendaku muslim pasti mencinti Rasulullah. Namun, satu hal yang membedakan umat Islam di Indonesia dengan negara lain adalah ekspresi kecintaan pada Rasulullah. Sejak zaman dahulu, muslim Nusantara punya cara-cara unik untuk mengekspresikan rasa cinta dan rindu pada Rasulullah.

Rasa cinta dan rindu pada Rasulullah itu lantas berpadu dengan berbagai kearifan lokal Nusantara yang kaya dan beragam. Lalu lahirnya berbagai tradisi lokal dalam merayakan bulan Rabiul Awal dan kelahiran Rasulullah. Salah satunya adalah tradisi Muludan yang dikenal di masyarakat muslim Jawa Tengah dan Yogyakarta.

Muludan sendiri berasal dari kata maulud yang bermakna kelahiran. Di masyarakat Jawa, bulan Rabiul Awal pun lebih populer dengan sebutan Bulan Mulud. Berbagai acara pun digelar menyambut bulan kelahiran Rasulullah ini. Di pedesaan yang menjadi basis kalangan Nahdliyin, mulai dari tanggal 1 hingga 12 Rabiul Awal setiap malamnya digelar pembacaan kitab barzanji, maulid dziba’, maulid shimtud dhuror, dan kitab-kitab lainnya.

Muludan Sebagai Ekspresi Kecintaan Pada Rasulullah

Syair-syair berisi pujian terhadap Rasulullah itu dilantunkan dengan nada-nada khas Melayu dan Jawa. Masyarakat berkumpul di Masjid atau Musholla. Lelaki, perempuan, tua, muda, dan anak-anak berkumpul bersama memuja Rasulullah. Barangkali, sebagian besar dari mereka tidak paham betul apa makna dari syair yang mereka lantunkan.

Namun, mereka meyakini bahwa ikut berkumpul saja kiranya sudah bisa menjadi syarat mendapatkan berkah dari Kanjeng Nabi Muhammad. Di samping itu, kegiatan tersebut juga menjadi semacam agenda dalam kalender sosial-kemasyarakatan yang wajib diikuti oleh setiap warga.

Puncaknya, pada tanggal 12 Rabiul Awal biasanya digelar acara syukuran seperti pengajian akbar mengundang kiai atau penceramah, atau sekadar makan bersama di serambi masjid atau mushola. Di sebagian masyarakat, puncak peringatan hari lahir Nabi Muhammad juga diramaikan dengan acara kirab atau grebeg. Di acara grebeg itu biasanya ditampilkan tumpeng hasil bumi yang lantas dibagi ke masyarakat yang hadir.

Berbagai kegiatan selama bulan Rabiul Awal yang sarat dengan lokalitas itu adalah bentuk akulturasi antara budaya Islam dan budaya lokal Nusantara. Entah itu budaya Jawa, Sumatera, Bugis, dan sebagainya. Bentuk akulturasi Islam dan budaya lokal yang mewujud pada kemunculan tradisi Muludan adalah wujud atau bentuk ekspresi kecintaan umat Islam terhadap Rasulullah.

Muludan, pembacaan dziba atau barzanji, bahkan grebeg atau kirab peringatan maulid sekali lagi adalah wujud kecintaan umat Islam Indonesia pada Nabi Muhammad. Yang namanya bahasa cinta, pasti melampaui sekat bahasa fiqih atau hukum formal. Jangankan ekspresi cinta pada Nabi Muhammad, ekspresi cinta pada sesama manusia, bahkan yang sifatnya birahi saja pasti melampaui rasionalitas dan formalitas.

Menyelami Makna Akulturasi Islam dan Tradisi Lokal

Maka, tidak relevan kiranya menghakimi perayaan maulid Nabi yang berkelindan dengan kearifan lokal dengan kacamata hukum formal atau fiqih. Apalagi melabeli kegiatan itu dengan klaim bidah, sesat, bahkan kafir. Sungguh yang demikian itu tidak bijak dan rawan memicu polemik. Sebagai muslim yang mencintai Rasulullah, idealnya kita terlebih dahulu memahami dan menghormati budaya lokal sebelum menghakiminya apalagi melabelinya sebagai bidah, sesat, atau kafir.

Ekspresi cinta dan rindu pada Rasulullah yang mewujud pada berbagai tradisi dan budaya itu harus dibaca dengan menggunakan paradigma sosio-antropologis yang jauh dari nalar menghakimi apalagi merendahkan. Dalam kajian ilmu sosial, setiap aktivitas seni dan budaya manusia itu pasti mengandung makna yang tersurat melalui simbol.

Jadi, simbol-simbol dalam aktivitas seni atau budaya misalnya nyanyian, kidung, atau benda-benda artistik itu pada dasarnya adalah tanda (sign) yang mengandung makna mendalam (the deep meaning). Makna itu tidak akan kita pahami jika kita hanya melihatnya di permukaan saja. Diperlukan permenungan mendalam agar kita sampai pada makna dari ekspresi seni dan budaya tersebut.

Dalam konteks Muludan yang mewujud dalam berbagai kegiatan, kita bisa memetik beragam makna yang tersirat dari kegiatan tersebut. Selain merupakan ekspresi kecintaan dan kerinduan terhadap Rasulullah, tradisi Muludan di kalangan muslim Jawa Tengah dan Yogyakarta juga menggambarkan budaya hidup rukun, guyup, dan harmoni di antara sesama masyarakat.

Nilai-nilai itulah yang idealnya kita lestarikan terutama di tengah mewabahnya virus perpecahan di tengah umat Islam dan bangsa Indonesia pada umumnya. Wujud kecintaan dan kerinduan pada Rasulullah yang diekspresikan ke dalam bentuk akulturasi seni dan budaya lokal adalah modal sosial dan kultural untuk memperkokoh persaudaraan sesama muslim dan ikatan kebangsaan.

Perayaan maulid Nabi yang dirayakan oleh masyarakat dengan berbagai kegiatan adalah momentum untuk menjalin silaruhami. Masyarakat yang kuat dari segi ukhuwah niscaya tidak akan mudah dihancurkan oleh musuh dari luar. Terutama musuh yang gemar memprovokasi dan mengadu-domba sesama umat.

Facebook Comments