Keakraban, kadangkala, akan tampak tak sebagaimana orang bayangkan: penuh penghormatan dan bahkan ketakutan. Kisah kaum hakikat dalam sejarah agama, yang kerap bertubrukan dengan kaum syari’at, pada dasarnya adalah juga sebentuk kisah tentang keakraban yang dibaca sebagai sebentuk kekurangajaran, penyepelean, dan bahkan penyimpangan.
Dalam bahasa pendekatan agama yang terkini, kaum hakikat itu dilabeli dengan banyak penyebutan: kaum kultural, kaum substansial, kaum moderat, dan bahkan kaum liberal. Secara diametral biasanya mereka akan disandingkan dengan kaum struktural, kaum formal, kaum radikal, dan bahkan kaum kolot.
Dalam wujud agama Islam di Nusantara, secara keseharian, berbagai manifestasi keakraban itu banyak tampil dalam tampilan yang terkesan tak islami atau jauh dari berbagai atribut keagamaan: nama-nama non-Arab, wirid-wirid non-Arab, perempuan-perempuan tak bertudung, dsb. Sementara secara ideal, keakraban itu muncul dalam prinsip-prinsip untuk menerima dan memegang Pancasila sebagai azas kehidupan dalam bermasyarakat dan bernegara dalam bentuk masyarakat yang plural, kebebasan untuk memilih pemimpin yang bahkan pun berstatus “nonis,” melebur dalam ekspresi-ekspresi kebudayaan lokal dan keadaan-keadaan zaman, dsb.
Dengan demikian, apakah sebentuk kekurangajaran dan bahkan penyimpangan ketika, misalnya, memparafrasekan “Innalillahi wa inna ilahi raji’un” dengan “Sangkan-Paran” sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Jawa, “Abdullah” dengan “Manunggaling kawula lan Gusti”? Atau pada tataran ideal, menyandarkan syari’at Islam pada Pancasila dan konstitusi, konsep Syuro pada sistem demokrasi deliberatif sebagaimana yang selama ini sudah ditempuh oleh para Bapak pendiri bangsa Indonesia, yang di hari ini mungkin mereka akan juga dilabeli sebagai kaum substansial, kultural, moderat, dan bahkan liberal?
Ketika ada orang yang menilai bahwa itu semua adalah sebentuk kekurangajaran, penyepelean, dan bahkan penyimpangan, pada dasarnya orang itu telah menyempitkan agama sebagai semata berhala dan sama sekali goblok tentang sejarah bangsanya sendiri. Ketika kulturalisasi atau substansialisasi agama itu dianggap sebagai sebuah penyimpangan agama, maka strukturalisasi atau formalisasi agama adalah juga sebentuk penyimpangan kebangsaan yang cukup berkonsekuensi serius secara konstitusional.
Keakraban adakalanya memang terkesan luwes dalam perwujudannya, sehingga dapat memicu “jiwa-jiwa amatiran” untuk bergejolak dan kemudian menghakiminya sebagai sebentuk kekurangajaran dan bahkan penyimpangan. Tiliklah bentuk-bentuk relasi yang lazim berlangsung cair antara bapak dan anak, sahabat atau orang-orang terkarib. Bukankah keluwesan atau kecairan hubungan itu adalah hal yang kurangajar bagi orang yang baru kenal?
Maka, ketika orang menyaksikan upaya-upaya yang terkesan sebagai sebentuk deformalisasi agama, bisa jadi itu semua tak dilakukan oleh orang-orang yang baru sebulan atau dua bulan dalam beragama dan menjalani agamanya. Dan tentunya, karena saking lamanya mereka beragama, ibarat mendekatkan diri pada Tuhan, mereka adalah golongan orang yang bahkan pun dapat melakukannya sembari bersepeda.