Mengapa Beda Pilihan, Tetap Toleran?

Mengapa Beda Pilihan, Tetap Toleran?

- in Faktual
16
0
Mengapa Beda Pilihan, Tetap Toleran?

Menyedihkan. Peristiwa berdarah mengotori rangkaian pelaksanaan Pilkada 2024. Kejadian itu terjadi di Sampang. Seorang berinisial JSP harus merenggang nyawa karena dibacok oleh sejumlah warga usai menemui salah satu kandidat calon Bupati. Ia merupakan salah satu calon saksi dari calon bupati tersebut. Ia dianggap mengkhianati dukungan politik di lingkungan warganya yang mayoritas merapat ke calon bupati yang lain.

Peristiwa tersebut sungguh sangat disesalkan dan patut dikecam. Persoalan perbedaan pilihan politik yang merenggut nyawa adalah hasil dari fanatisme politik yang mengerikan. Keberpihakan yang berlebihan terhadap pilihan politik dapat menceraikan ikatan sosial yang ada. Dalam bentuk apapun fanatisme yang ekstrem dapat berbahaya dan bisa memecah kerukunan masyarakat.

Kontestasi politik dalam demokrasi sejatinya meniscayakan pluralitas pilihan. Perbedaan pandangan pilihan politik dalam demokrasi harus dilandasi pada prinsip kebebasan dan kesetaraan. Prinsip ini merupakan elemen penting dalam berdemokrasi. Orang bebas berbeda pilihan dan dalam perbedaan itu mereka memiliki posisi yang setara. Jika prinsip ini dilanggar akan melahirkan konflik destruktif yang tak terhindarkan. Karena itulah, dalam demokrasi toleransi menjadi sangat penting.

Pertanyaannya kenapa dalam kontestasi selalu melahirkan praktek intoleransi pilihan politik? Ada beberapa alasan yang dapat menjadi pemicu. Pertama, polarisasi politik yang tajam yang membenturkan antar kelompok pendukung. Polarisasi ini muncul karena ketidakdewasaan elite politik dalam memainkan isu politik dengan memobilisasi emosi masyarakat. Penggunaan bahasa yang provokatif, dan membangkitkan sentimen yang lebih dalam semisal persoalan primordial akan membangkitkan emosi.

Kedua, fanatisme politik yang berlebihan. Mendukung calon adalah hak politik, tetapi memberikan loyalitas berlebihan yang terjebak pada fanatisme adalah sebuah persoalan. Fanatisme akan merusak pertimbangan pilihan yang rasional. Pilihan lebih didasarkan pada pertimbangan emosional yang tidak produktif. Fanatisme ini menjadi sangat rentan dimobilisasi dalam area konflik yang melibatkan elite politik.

Ketiga, eksploitasi identitas simbolik yang dibenturkan. Penggunaan isu SARA dalam politik sangat berbahaya karena membawa identitas kebanggaan diperalat untuk kepentingan politik. Bahayanya, orang tidak sekedar meletakkan kontestasi dalam arena pertarungan politik semata, tetapi dibawa dalam ruang yang lebih luas semisal pertarungan kepentingan identitas suku, etnis dan agama tertentu.

Ketiga hal ini menjadi pemicu munculnya intoleransi dalam politik. Ketidakmampuan dalam menghormati perbedaan pilihan adalah sebuah konstruksi sosial-kultural yang diperparah oleh kurangnya pendidikan politik masyarakat. Masyarakat diajak dalam pertarungan politik praktis yang melupakan aspek esensial dalam politik yakni mencapai konsensus bersama untuk kebaikan bersama.

Para elite politik yang gemar menggunakan narasi kebencian dan narasi politik identitas akan membangkitkan intoleransi dalam politik. Misalnya, retorika pribumi vs pendatang, calon yang sesuai syariat agama, memilih calon tertentu sama dengan berjuang dalam agama dan sebagainya adalah narasi yang sengaja membuat polarisasi masyarakat berdasarkan dimensi identitas yang mendalam.

Karena itulah, hak warga negara tidak hanya persoalan memilih, tetapi mendapatkan pendidikan politik yang memadai. Masyarakat bukan hanya kantong suara, tetapi harus diposisikan sebagai pemegang saham politik. Penanaman nilai-nilai demokrasi, toleransi dan kewarganegaraan menjadi tugas yang melekat para elite dan partai dalam memberikan pendidikan politik kepada masyarakat.

Toleransi dalam demokrasi adalah sebuah keharusan. Demokrasi yang meniscayakan perbedaan harus dibangun dengan sikap toleransi. Pluralitas politik harus diimbangi dengan kedewasaan pemilih yang toleran. Jika tidak, kontestasi justru menciptakan polarisasi yang dapat memecah konflik.

Kampanye beda pilihan, tetap toleran harus digaungkan kembali. Pilkada hanya mekanisme politik untuk menyaring kepentingan rakyat. Pilkada bagian dari rule of law dari demokrasi untuk mencapai kepentingan bersama. Pilkada bukan tujuan akhir, tetapi tujuan esensial dari politik adalah kemashlahatan bersama.

Jangan korbankan nyawa manusia untuk kepentingan politik. Benar apa yang disampaikan oleh Gus Dur : yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan. Politik hanyalah salah satu sarana mewujudkan kebajikan dalam memanusiakan manusia, bukan mengorbankan nyawa manusia.

Facebook Comments