Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala kemanusiannya. Dari titik inilah dunia politik tak jauh berbeda dengan dunia sastra yang konon adalah cerminan dari kehidupan manusia yang bergelut dengan segala kemanusiaannya. Maka, pada titik ini pula, tepatlah kalimat klise bahwa tak ada yang sama sekali sempurna, dimana menurut bahasa manusia beragama, kesempurnaan itu hanyalah pada Tuhan semata.
Namun, persoalan akan timbul ketika agama itu, yang mendalilkan bahwa hanya Tuhanlah yang sama sekali sempurna, berupaya bersanggama dengan politik yang identik dengan segala ketaksempurnaan. Di sinilah ketakutan kaum sekular konon mendapatkan dasarnya, bahwa ketika agama mencoba mengurusi dunia, maka ia harus bersiap pula dengan segala potensi untuk luntur segala keluhuran dan kesucian yang selama ini dinarasikan padanya. Itu pun kalau berhasil, ketika pun gagal agama mesti pula bersiapsedia dengan segala kemungkinan pengkhianatan.
Politik di Indonesia sejak 2016, dengan ditandai oleh berbagai aksi “bela Islam,” yang berjilid-jilid hingga beberapa minggu yang lalu, merupakan contoh yang bagus tentang bagaimana agama dan politik dapat memiliki hubungan yang kompleks. Bukan hanya melorotnya derajat agama menjadi sekedar amunisi para politisi untuk menyerang rival, namun sifat pragmatis politik pada akhirnya tak selamanya sejalan dengan klaim keluhuran dan kesucian agama (“Reuni dan Kasih Tak Sampai,” Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org).
Barangkali, orang tak pernah berpikir bahwa rendahnya nilai agama di mata publik bisa pula disebabkan oleh gagalnya agenda-agenda politik yang sudah berbalut dengan agama. Kisah pilpres 2024—dengan segala ungkapan mengejek semacam “Kabib,” “Mukibul,” dsb.—bisa jadi adalah harga yang mesti dibayar atas gagalnya agama dalam menunaikan sebuah agenda politik. Bayangkanlah ketika seorang capres yang sudah dinarasikan sedemikian rupa secara agamis sebagai “Imam Mahdi,” “atas petunjuk Nabi Khidhir,” “Malaikat Jibril,” dsb., berakhir menjadi pecundang, keimanan yang mana yang tak bakal goyah?
Celakanya, bangsa Indonesia, meskipun sebuah bangsa yang beragama, terbukti sebagai bangsa yang tak menjadikan agama sebagai ukuran mutlak dalam bermasyarakat dan bernegara, yang tentu saja tak akan memudahkan persanggamaan antara agama dan politik berjalan secara selaras.
Politik tentu saja bukanlah soal surga dan neraka, dan pilihan politik tentu pula bukanlah soal ketaatan atau ketaktaatan pada kalangan yang dipandang memiliki otoritas keagamaan yang konon memiliki konsekuensi etis-teologis tertentu. Ada sebuah tilikan menarik dari seorang Nietzsche tentang politik ketika dilekatkan dengan kuasa (mencari, mempertahankan, dan bahkan mematikannya), “der Will zur Macht,” yang ternyata adalah sebentuk azas kehidupan yang jelas-jelas berlaku dan berlangsung secara otomatis, laiknya pecah tangis seorang bayi ketika terlahirkan.
Maka, ketika politik dikaitkan dengan kehendak untuk berdaya, yang merupakan azas kehidupan, politik itu ternyata lebih jujur daripada agama. Dan bangsa Indonesia, dari berbagai fakta sejarah yang ada, ternyata telah cukup berpengalaman untuk menempatkan agama pada posisi dan porsi yang sudah semestinya, ketika pun agama itu sudah dikaitkan sedemikian rupa dengan politik.