Jumat Agung yang jatuh pada 18 April 2025 bukan sekadar penanda dalam kalender liturgi, melainkan sebuah momen reflektif yang memanggil hati nurani umat manusia untuk kembali merenungi makna terdalam dari pengorbanan, kasih, dan pengampunan. Dalam kisah sengsara Yesus Kristus, kita menyaksikan luka dunia, derita ketidakadilan, dan kekerasan yang terus berulang sepanjang sejarah umat manusia. Di balik salib yang berdiri tegak di Golgota, terbentang narasi kemanusiaan yang terus hidup: pengkhianatan oleh sahabat, kebisuan pengadilan yang lalim, dan rasa sakit tak terperikan dari tubuh yang tergantung tak berdaya.
Namun, dari kedalaman kegelapan itu, memancar cahaya kasih yang melampaui dendam dan kemarahan—sebuah kasih yang rela menyerahkan diri demi keselamatan orang lain. Refleksi atas peristiwa ini seharusnya tidak berhenti sebagai perenungan spiritual personal semata, melainkan menjadi titik tolak untuk membangun peradaban cinta, peradaban yang menjunjung tinggi martabat manusia dan menolak segala bentuk kekerasan.
Di dunia yang masih diliputi perang, diskriminasi, dan ketimpangan, Jumat Agung menyuarakan pesan yang radikal dan membebaskan: perdamaian tidak dibangun di atas kekuasaan dan balas dendam, tetapi melalui pengampunan dan rekonsiliasi. Kristus yang disalibkan tidak melawan dengan pedang, Ia justru memilih jalan sunyi yang penuh penderitaan, yang pada akhirnya menyingkapkan kekuatan sejati dari cinta tak bersyarat.
Jalan salib itu mengundang kita semua, tanpa memandang agama, suku, bangsa, atau latar belakang, untuk mengambil bagian dalam upaya membangun dunia yang lebih damai dengan keberanian untuk mencintai musuh, mengulurkan tangan pada yang terluka, dan menjadi jembatan di tengah jurang perpecahan yang akhir-akhir ini semakin menganga.
Ketika kita menatap dunia saat ini, luka itu nyata dan terbuka lebar. Rakyat Palestina hidup dalam bayang-bayang kekerasan dan penindasan yang secara terus-menerus dilancarkan oleh zionis Israel, mereka pun kehilangan tanah, keluarga, bahkan harapan. Di Gaza, tubuh-tubuh kecil dibungkus kain putih, sementara dunia terpecah antara kutukan dan kebisuan. Sementara di Ukraina, perang berkepanjangan dengan Rusia terus merenggut nyawa, menghancurkan kota-kota, dan menciptakan jutaan pengungsi yang kehilangan masa depan. Konflik yang tampaknya jauh dari kita sebenarnya mengetuk pintu kemanusiaan kita.
Di Palestina dan Ukraina, kita melihat Kristus yang disalibkan kembali—dalam tubuh para korban, dalam jeritan para ibu, dan dalam kehancuran yang ditinggalkan oleh ambisi politik dan kebencian yang diwariskan dari generasi ke generasi; dari waktu ke waktu.
Perdamaian bukanlah sesuatu yang datang tiba-tiba dari langit, melainkan buah dari perjuangan batin yang mendalam dan komitmen yang nyata dalam hidup sehari-hari. Jumat Agung mengajarkan bahwa untuk mengakhiri kekerasan, kita harus terlebih dahulu bersedia menyalibkan ego, ambisi, dan kebencian dalam diri yang menyanda kesadaran kita.
Kita dipanggil untuk menjadi manusia baru yang lahir dari kasih dan pengampunan. Dunia saat ini sangat membutuhkan orang-orang yang berani berdiri di tengah konflik sebagai penabur damai, bukan pengobar amarah. Seperti Yesus yang tetap diam ketika difitnah dan tidak membalas saat dilukai, kita diajak untuk menempuh jalan kerendahan hati yang membuka ruang bagi dialog dan saling pengertian sehingga mampu membangun dunia yang damai.
Dalam konteks global yang penuh gejolak, Jumat Agung menjadi panggilan profetik bagi para pemimpin dunia, tokoh agama, dan seluruh warga planet ini untuk tidak memperpanjang rantai kekerasan yang ada. Perang yang terjadi di berbagai belahan dunia bukanlah solusi, melainkan kegagalan dalam melihat kemanusiaan dalam diri sesama.
Ketika kita memilih untuk melihat orang lain sebagai musuh, kita sedang menyangkal bahwa mereka adalah saudara dalam kemanusiaan. Maka, mengenang penderitaan Kristus di salib seharusnya mendorong kita untuk membela korban ketidakadilan, menjadi suara bagi mereka yang dibungkam, dan menghadirkan harapan di tempat yang dilanda keputusasaan. Ini bukan semata tugas kaum religius, melainkan panggilan etis bagi setiap manusia.
Kisah Jumat Agung juga menyentuh luka-luka sejarah kolektif umat manusia—penjajahan, genosida, pengusiran, dan bentuk-bentuk lain dari kekerasan sistemik. Dari salib, Yesus tidak hanya merangkul penderitaan individu, tapi juga penderitaan bangsa dan komunitas yang ditindas. Ini memberikan makna baru pada solidaritas lintas batas: bahwa penderitaan satu orang adalah penderitaan kita semua yang harus kita hadapi bersama.
Dunia membutuhkan jiwa-jiwa yang siap memikul salib bukan untuk mencari penderitaan, melainkan untuk menyatakan bahwa kasih adalah kekuatan transformatif yang paling nyata. Melalui refleksi atas Jumat Agung, mari kita bangun harapan baru: bahwa di balik setiap penderitaan ada kemungkinan kebangkitan, di balik setiap salib ada potensi kehidupan, dan di balik setiap luka ada kemungkinan rekonsiliasi yang dapat kita wujudkan.
Akhirnya, Jumat Agung adalah undangan abadi bagi setiap orang untuk menjadi pembawa damai di dunia yang haus akan keadilan dan kasih. Kita tidak dipanggil untuk menyelamatkan dunia sendirian, tetapi untuk menghidupi nilai-nilai kasih yang telah ditunjukkan oleh Kristus: mengampuni, mengasihi, dan melayani semua secara ikhlas.
Dari salib-Nya, mengalir kekuatan untuk menciptakan dunia yang baru—dunia di mana damai bukan sekadar impian, tetapi kenyataan yang diwujudkan oleh mereka yang percaya pada kekuatan cinta yang mengalahkan segala kebencian. Maka pada Jumat Agung 18 April 2025 ini, marilah kita tidak hanya mengenang, tetapi juga melanjutkan warisan perdamaian itu—dalam langkah-langkah kecil, dalam tindakan nyata menjaga perdamaian dunia.