Setiap tanggal 21 April, bangsa ini selalu memperingati hari Kartini. Spirit perjuangan Kartini sejatinya harus terus hidup. Utamanya era kita saat ini, dalam menghadapi segala bentuk dogma eksklusivitas terhadap peran perempuan di ruang publik. Seperti halnya, perempuan dianggap mulai dan terhormat ketika banyak diam dan tak keluaran rumah.
Dogma di atas sejatinya harus kita gugat. Sebab, ketika perempuan kehilangan peran, di situlah kelompok radikal-teroris hadir memperalat perempuan dengan peran yang sesat dan keliru. Yaitu menjadikan perempuan sebagai boneka untuk melakukan aksi-aksi terorisme seperti bom bunuh diri. Bahkan, sejak dulu banyak aksi-aksi terorisme yang di-inisiatif oleh perempuan.
Islam di dalam Al-Qur’an, menempatkan status laki-laki dan perempuan itu setara. Misalnya dalam konteks peran (amal ma’ruf nahi mungkar) di ruang publik. Seperti yang ditegaskan dalam (Qs. An-Nahl:97) “Barang siapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki mau-pun perempuan, sedang ia seorang mukmin, maka ia akan masuk surga, dan ia tidak sedikit-pun dirugikan”.
Memahami ayat di atas, kita tentu menyadari bagaimana Tuhan menempatkan perempuan ke dalam peran dan status yang sama dengan laki-laki. Dalam arti pemahaman, perempuan juga harus berpartisipasi dalam segala hal. Termasuk terlibat dalam kerja-kerja sosial, baik di bidang pendidikan, ekonomi, kesehatan dll.
Tak ada legitimasi hadits atau-pun ayat yang Saya temukan, lalu menegaskan bahwa perempuan diam dan tak keluaran rumah dianggap mulia. Yakni menempatkan perempuan ke dalam status yang “tak perlu berperan” seperti tak perlu sekolah tinggi, cukup di dapur dll. Ini sebagai satu doktrin yang justru menentang kebenaran Tuhan yang harus kita gugat karena telah merendahkan peran dan hak perempuan secara eksklusif.
Sebagai perempuan, Saya selalu menegaskan bahwa kemuliaan dan kehormatan perempuan itu di saat dia mampu berkontribusi bagi masyarakat dan bangsanya. Di mana, perempuan bisa berdiskusi menyelesaikan problem kebangsaan yang kita hadapi. Perempuan bisa berkontribusi menyuarakan hak-hak sosial, keadilan, kemanusiaan dan menjauhi karakter yang biadab. Perempuan adalah keindahan dunia untuk berperan dalam menyinari tatanan yang damai dan aman.
Semangat hari Kartini adalah semangat kita semua sebagai perempuan. Bahwa Kartini bukanlah bagian dari sejarah yang lalu, tetapi sebagai simbol perjuangan yang harus terus hidup membara. Dari semangat emansipasi Kartini harus melebur ke dalam semangat partisipasi perempuan dalam kehidupan sosial-kebangsaan yang bisa membawa maslahat.
Kita tidak boleh lupa sejarah, bagaimana peran perempuan di negeri ini dalam menyelesaikan konflik. Perempuan cenderung mempunyai potensi dan memiliki bahasa diplomasi yang begitu kuat dalam melibas narasi-narasi yang memecah-belah persatuan dan kebersamaan di negeri ini. Bahkan, pola komunikasi perempuan sebetulnya tidak sekadar tentang kata, melainkan rasa (ketulusan).
Masih ingatkah kita dengan konflik berdarah di Maluku sejak 1999? Dan baru berakhir damai pada tahun 2005-an. Hal ini tak lepas dari peran dan kontribusi perempuan sebagai resolusi damai di tengah konflik. Keterlibatan perempuan Maluku yang secara komunikatif dapat menjadi jalan resolusi yang aktif dan konstruktif dalam menjahit robeknya sosial menjadi damai.
Mengingat sebuah kebenaran ayat (Qs. An-Nahl:97). Bahwa peran dan kontribusi perempuan dalam kehidupan sosial sebagai bagian dari nilai ibadah. Perempuan bukan aib dan perempuan memiliki peran yang sama dalam menjawab berbagai tantangan sosial kebangsaan maupun global. Jadi, segala bentuk dogma yang menganggap perempuan itu hanya cukup berdiam diri di rumah harus kita gugat, sebagaimana Al-Qur’an tak pernah membenarkan dogma eksklusif semacam itu.