Hijrah yang Perlu Kita Lakukan di Masa Sekarang

Hijrah yang Perlu Kita Lakukan di Masa Sekarang

- in Narasi
1
0
Hijrah yang Perlu Kita Lakukan di Masa Sekarang

Adakah sesuatu yang lebih mendalam dari sekadar menjadi bagian dari kelompok? Adakah tujuan yang lebih luhur dari mengukuhkan identitas diri dalam barisan yang seragam? Pertanyaan-pertanyaan filosofis ini seyogianya meresap ke dalam sanubari setiap individu, khususnya di tengah gelombang eksklusivitas komunal yang kian menguat di berbagai belahan dunia, tak terkecuali di Indonesia. Fenomena ini, yang seringkali berakar pada interpretasi sempit terhadap nilai-nilai agama, budaya, atau bahkan ideologi politik, berpotensi menggerus fondasi inklusivitas nasional yang telah susah payah dibangun.

Sejarah mencatat bahwa polarisasi berbasis identitas bukanlah hal baru. Dari konflik sektarian di Eropa abad pertengahan hingga segregasi rasial di Amerika Serikat, narasi tentang “kita” versus “mereka” selalu menemukan ladang subur. Dalam konteks keagamaan, eksklusivitas seringkali muncul dari klaim kebenaran tunggal dan penolakan terhadap narasi keagamaan lain. Ini adalah bentuk partikularisme religius yang, jika tidak dikelola dengan bijak, dapat berujung pada marginalisasi dan diskriminasi.

Secara sosiologis, eksklusivitas komunal dapat dipahami melalui lensa teori identitas sosial yang dikemukakan oleh Henri Tajfel dan John Turner. Teori ini menyatakan bahwa individu cenderung mengidentifikasi diri dengan kelompok tertentu untuk meningkatkan harga diri dan rasa memiliki. Namun, ketika identifikasi kelompok ini menjadi terlalu kuat, ia dapat memicu favoritisme ingroup dan diskriminasi outgroup, di mana anggota kelompok sendiri dipandang lebih positif dan kelompok lain diremehkan. Gejala ini terlihat jelas dalam praktik-praktik keagamaan yang mengklaim diri sebagai satu-satunya jalan keselamatan, atau dalam kelompok-kelompok budaya yang enggan berinteraksi dengan komunitas di luar lingkarannya.

Agama dan Tantangan Eksklusivitas

Agama, dalam esensinya, seharusnya menjadi kekuatan pemersatu, mendorong kasih sayang, toleransi, dan keadilan. Namun, dalam praktiknya, ia seringkali disalahgunakan sebagai alat legitimasi bagi eksklusivitas. Ayat-ayat suci kerap ditafsirkan secara harfiah tanpa mempertimbangkan konteks historis, linguistik, dan filosofisnya. Fenomena ini mengingatkan kita pada kritik hermeneutika kritis yang menyerukan dekonstruksi terhadap interpretasi tekstual yang hegemonik dan dogmatis. Tafsir yang picik terhadap teks-teks agama dapat menghasilkan pemahaman yang kaku, menolak keragaman, dan memicu kebencian.

Dalam kacamata filsafat politik, eksklusivitas komunal juga merupakan ancaman terhadap konsep masyarakat sipil (civil society) yang pluralistik dan demokratis. Ketika kelompok-kelompok identitas menarik diri dari ruang publik yang lebih luas dan hanya berinteraksi di dalam “gelembung” mereka sendiri, diskusi konstruktif dan musyawarah mufakat menjadi sulit terwujud. Hal ini pada gilirannya dapat melemahkan kohesi sosial dan merapuhkan tenun kebangsaan.

Jalan Menuju Inklusivitas Nasional: Sebuah Hijrah Epistemik

Untuk menggapai inklusivitas nasional yang sejati, kita harus berani melakukan hijrah epistemik. Kita meminjam istilah hijrah karena saat ini masih berada di dalam momen tahun baru hijriah. Hijrah epistemik adalah pergeseran cara berpikir yang radikal. Ini bukan sekadar perpindahan fisik, melainkan transformasi intelektual dan spiritual dari belenggu eksklusivitas komunal menuju cakrawala inklusivitas nasional yang lebih luas.

Pertama, diperlukan revitalisasi teologi inklusif yang menekankan nilai-nilai universal agama dan mengakui kebenaran dalam berbagai tradisi. Ini berarti menafsirkan kembali teks-teks agama dengan lensa kasih sayang, keadilan, dan kemanusiaan universal. Pengakuan akan pluralitas kebenaran, sebagaimana diisyaratkan dalam beberapa tradisi mistik, dapat menjadi jembatan menuju pemahaman yang lebih lapang.

Kedua, penting untuk mempromosikan pendidikan multikultural yang mengajarkan penghargaan terhadap perbedaan, empati, dan kemampuan untuk berdialog dengan “yang lain.” Ini bukan sekadar mengenal budaya dan agama lain, melainkan memahami narasi mereka, merasakan pengalaman mereka, dan meruntuhkan prasangka yang terbentuk.

Ketiga, dan ini krusial, adalah membangun narasi kebangsaan yang inklusif. Narasi ini harus mampu merangkul semua identitas yang ada, tanpa mengorbankan identitas primordial, namun menyublimkannya dalam payung kebangsaan yang lebih besar. Sebagaimana gagasan nation-building yang bukan hanya tentang persatuan politik, tetapi juga persatuan budaya dan psikologis. Ini adalah pekerjaan politik dan budaya yang berkelanjutan, membutuhkan kepemimpinan yang visioner dan komitmen dari seluruh elemen masyarakat.

Perjalanan dari eksklusivitas komunal menuju inklusivitas nasional bukanlah tugas yang mudah. Ia menuntut keberanian untuk melampaui zona nyaman identitas, kemauan untuk berdialog, dan kesediaan untuk merangkul keragaman sebagai kekuatan, bukan ancaman. Hanya dengan demikian, kita dapat mewujudkan sebuah bangsa yang kokoh, harmonis, dan adil bagi seluruh warganya. Apakah kita berani melangkah dalam hijrah yang fundamental ini?

Facebook Comments