Hijrah adalah sebuah konsep spiritual dan historis yang sarat makna dalam tradisi Islam. Peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah bukan sekadar perpindahan fisik, melainkan transformasi besar dalam membangun tatanan sosial yang inklusif.
Dalam lintasan sejarah, hijrah menjadi simbol perjuangan menegakkan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan, jauh dari kepentingan pribadi atau kelompok. Namun, hari ini, makna hijrah kerap direduksi hanya sebagai slogan ideologis oleh kelompok-kelompok tertentu, terutama mereka yang berhaluan radikal. Praktik semacam ini tidak hanya menodai nilai luhur hijrah, tetapi juga membahayakan kohesi sosial dan semangat kebangsaan.
Fenomena pereduksian makna hijrah menjadi alat kepentingan ideologis sangat kentara di tengah maraknya propaganda kelompok radikal yang mengusung narasi “hijrah ideologis”. Khususnya di tengah kondisi geopolitik dunia yang tidak sabil. Mereka menjadikan hijrah sebagai dalih untuk memobilisasi massa, dan membangun basis politik berbasis agama.
Dalam banyak kasus, hijrah tidak lagi dimaknai sebagai perjalanan spiritual-sosial menuju kehidupan yang lebih baik, melainkan sebagai “pemisahan” dari kehidupan bermasyarakat yang majemuk menuju kehidupan eksklusif yang serba diatur oleh tafsir sempit. Akibatnya, lahirlah segregasi sosial yang berpotensi memecah belah persatuan bangsa.
Hijrah dalam pemahaman Islam yang menyeluruh adalah proses meninggalkan keburukan menuju kebaikan. Nabi Muhammad SAW tidak pernah mengajarkan hijrah sebagai upaya memutus relasi sosial dengan masyarakat yang berbeda keyakinan. Sebaliknya, di Madinah, beliau membangun piagam bersama berbagai kelompok, termasuk Yahudi dan suku-suku Arab yang belum memeluk Islam, demi membangun perdamaian dan keadilan.
Namun, sayangnya, belakangan ini kelompok tertentu memutarbalikkan sejarah hijrah untuk menjustifikasi aksi eksklusivisme agama, bahkan dalam beberapa kasus, untuk mendukung tindakan kekerasan. Padahal, hijrah sejatinya adalah strategi damai untuk memperluas rahmat bagi seluruh alam, bukan alat memaksakan ideologi tertentu.
Dalam konteks Indonesia, penyempitan makna hijrah sering terlihat dalam fenomena penggiringan anak muda ke dalam pola pikir radikal. Gerakan ini memanfaatkan media sosial dan forum kajian keagamaan untuk menggiring narasi bahwa hijrah adalah meninggalkan “sistem kafir” menuju “sistem Islam” versi mereka sebagaimana sering kita temukan.
Mereka menebar syak wasangka terhadap sistem demokrasi, hukum negara, bahkan menyalahkan praktik keislaman yang berbeda dari mereka. Ironisnya, narasi semacam ini justru menjauhkan generasi muda dari substansi hijrah sebagai proses memperbaiki diri, memperkuat solidaritas sosial, dan merawat perdamaian. Padahal, spirit hijrah seharusnya menjadi energi moral untuk membangun masyarakat yang lebih adil, toleran, dan berkelanjutan.
Dalam Islam, perubahan hakiki bukanlah yang tampak di luar semata, tetapi yang tumbuh dari kesadaran batin yang jujur dan reflektif. Bila hijrah hanya sebatas tampilan lahiriah dan slogan ideologis, maka kita sedang menyaksikan degradasi spiritualitas Islam yang sejatinya penuh kasih dan hikmah. Bukan gerakan hijrah yang akan mendatangkan kemajuan.
Para ulama terdahulu telah mewariskan pemahaman hijrah yang sangat moderat dan kontributif. Imam al-Ghazali, misalnya, menekankan pentingnya hijrah dari sifat egois menuju keikhlasan dalam beribadah dan bermuamalah. Dalam pemahaman ini, hijrah adalah aksi kolektif menuju masyarakat yang penuh kasih. Maka sudah sepatutnya kita menghidupkan kembali pemahaman hijrah yang autentik—yang mendidik, membebaskan, dan menyejukkan.
Memasuki tahun baru Hijriah, momentum hijrah seharusnya menjadi kesempatan refleksi bersama untuk menata ulang arah hidup, baik sebagai individu maupun sebagai bagian dari masyarakat bangsa. Kita harus waspada terhadap infiltrasi ideologi yang membajak makna hijrah untuk kepentingan politik sempit. Hijrah bukan tentang memusuhi sesama karena perbedaan keyakinan atau pandangan politik, melainkan tentang mengalahkan hawa nafsu, egoisme, dan kebencian yang mengakar dalam diri. Bila hijrah dipahami secara substantif, maka ia akan menjadi kekuatan besar untuk membangun dunia yang damai dan berkeadilan.
Hijrah bukan kendaraan politik apalagi alat untuk mencuci otak generasi muda. Hijrah adalah spirit perubahan menuju kebaikan hakiki—bukan pemaksaan kehendak, bukan dogma sempit, bukan simbol-simbol semata. Kita perlu mengembalikan hijrah ke pangkuan nilai-nilai universal Islam: rahmatan lil ‘alamin, cinta damai, toleransi, dan keadilan sosial. Sebab hanya dengan cara itulah hijrah akan menjadi pelita peradaban, bukan bara api konflik.