Narasi tentang Islam Nusantara sebagai bentuk Islam yang damai, membumi, dan toleran memang menarik. Pengembangannya melalui budaya, dialog, dan penghormatan tradisi lokal disebut-sebut sebagai antitesis terhadap pemaksaan. Klaim bahwa “cinta tanah air adalah bagian dari iman” sangat populer menjadi fondasi kuat. Namun, seberapa jauh narasi ini merepresentasikan keseluruhan spektrum praktik keagamaan di Indonesia? Apakah semua institusi Islam, termasuk pesantren, secara konsisten menginternalisasi prinsip toleransi dan moderasi yang digambarkan, ataukah ada variasi dan tantangan internal yang kerap terabaikan? Penting untuk tidak terjebak dalam generalisasi yang terlalu idealis, mengingat dinamika keagamaan di Indonesia yang juga diwarnai oleh berbagai corak pemahaman.
Pesantren digambarkan sebagai lembaga pendidikan tertua yang relevan, menempa disiplin, kesederhanaan, kemandirian, dan tanggung jawab yang dikaitkan dengan ajaran agama dan kehidupan bermasyarakat. Contoh-contoh seperti Tebuireng dan Gontor diangkat sebagai pelopor integrasi pendidikan agama, nasionalisme, dan kurikulum umum. Kelahiran tokoh nasional dari rahim pesantren memang menjadi bukti historis.
Namun, di balik narasi pujian ini, perlu dipertanyakan: seberapa seragamkah kualitas pendidikan di ribuan pesantren di seluruh Nusantara? Apakah semua pesantren memiliki kapasitas dan kesiapan untuk mengintegrasikan kurikulum umum dan keterampilan abad ke-21 secara optimal, ataukah hanya segelintir pesantren besar yang mampu melakukannya? Keterbatasan sumber daya, tenaga pendidik yang kurang terlatih dalam kurikulum modern, serta resistensi terhadap perubahan, bisa jadi merupakan tantangan nyata yang perlu dibedah lebih dalam. Klaim bahwa santri “tidak gagap ketika berdiskusi soal Pancasila, sejarah Indonesia, atau isu-isu global” juga perlu diverifikasi secara empiris, mengingat keragaman latar belakang dan fokus kurikulum di masing-masing pesantren.
Inisiatif seperti Kurikulum Merdeka dan Program Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) di sekolah umum, yang menempatkan nilai religius dan nasionalis di posisi sentral, patut diapresiasi. Upaya menjadikan pelajaran agama, kewarganegaraan, dan sejarah sebagai wahana pembentukan karakter juga merupakan langkah maju. Model sekolah Islam terpadu yang memperkaya pendekatan ini dengan literasi digital dan etika bermedia sosial menunjukkan adaptasi.
Kendati demikian, implementasi kurikulum seringkali berbeda jauh dari perencanaannya. Apakah perubahan kurikulum secara otomatis menjamin perubahan perilaku dan pembentukan karakter? Tantangan dalam mencapai kualitas guru yang mumpuni, relevansi materi ajar dengan konteks lokal yang beragam, serta bias dalam interpretasi nilai-nilai religius dan nasionalis, tetap menjadi pekerjaan rumah besar. Sejauh mana pendidikan karakter ini mampu membentuk “generasi yang sadar jati diri, mengenal budayanya, serta menghargai perbedaan” tanpa terjebak pada indoktrinasi semata, masih perlu dikaji lebih lanjut.
Gagasan bahwa dunia sekolah dan pesantren berjalan terpisah dan harus disatukan adalah premis yang kuat. Potensi sinergi antara kedalaman spiritual pesantren dengan pendekatan ilmiah dan keterampilan sekolah umum memang sangat menjanjikan untuk mencetak individu yang saleh sekaligus kompetitif secara global, serta cerdas dan etis dalam bermedia sosial.
Namun, pertanyaan kritisnya adalah: bagaimana strategi konkret untuk mewujudkan sinergi ini? Apakah ada kebijakan yang komprehensif dan berkelanjutan untuk mendorong kolaborasi antara kedua institusi? Hambatan struktural, perbedaan filosofi pendidikan, dan mungkin resistensi dari masing-masing pihak untuk saling beradaptasi, bisa menjadi sandungan. Terlebih, narasi bahwa “anak muda bisa lebih percaya pada influencer daripada guru” menunjukkan tantangan yang lebih besar dari sekadar kurikulum; ini adalah tantangan pergeseran otoritas dan relevansi pendidikan formal di mata generasi muda.
Laporan Kementerian Agama yang menyebut pesantren makin terbuka dan adaptif, dengan kelas digital, pelatihan kewirausahaan, dan dialog lintas agama, menunjukkan kemajuan. Sekolah umum juga mulai memasukkan pendidikan karakter dan moderasi beragama. Ini semua adalah langkah positif.
Namun, di tengah ancaman ideologi transnasional dan sekularisme ekstrem yang disebutkan, apakah adaptasi ini cukup cepat dan mendalam? Peran pendidikan dalam membentuk “arah hidup” dan “menjaga NKRI” membutuhkan lebih dari sekadar program, melainkan transformasi fundamental dalam cara nilai-nilai diajarkan dan diinternalisasi. Apakah adaptasi ini hanya bersifat kosmetik, ataukah benar-benar mengubah cara berpikir dan berinteraksi generasi muda dengan dunia yang kompleks?
Narasi bahwa Islam dan nasionalisme dapat tumbuh berdampingan melalui pendidikan yang bijak dan berakar pada budaya lokal adalah visi yang mulia. Bahwa anak-anak tidak harus memilih antara menjadi “Muslim yang taat” atau “Indonesia yang cinta tanah air” adalah tujuan ideal.
Namun, mencapai visi ini membutuhkan lebih dari sekadar retorika. Ini membutuhkan investasi serius dalam kualitas guru, pengembangan kurikulum yang relevan dan kontekstual, eliminasi hambatan birokrasi, serta pengakuan dan penanganan terhadap keragaman internal dan tantangan eksternal yang dihadapi baik oleh pesantren maupun sekolah umum. Tanpa analisis kritis terhadap tantangan dan komitmen nyata untuk mengatasi kesenjangan, potensi besar Pendidikan Nusantara untuk mencetak generasi yang religius sekaligus nasionalis mungkin hanya akan tetap menjadi cita-cita yang belum sepenuhnya terealisasi.
Apakah kita, sebagai bangsa, siap menghadapi kompleksitas ini untuk benar-benar menanam masa depan Indonesia yang kokoh di atas dua kaki: agama dan tanah air?