Perjuangan melawan radikalisme (atas nama) agama nampaknya akan menemui lorong panjang. Hal tersebut dapat dilihat dari data terkini yang dipresentasikan oleh sejumlah peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Anas Saidi, Peneliti LIPI mengungkapkan bahwa dewasa ini telah terjadi indoktrinasi paham radikalisme yang mewabah di kalangan anak muda dan dilakukan dengan cara yang cenderung tertutup (18/2/16).
Pada penelitian sebelumnya (2011), Anas mengungkapkan bahwa kalangan anak muda yang terjangkiti virus pemahaman konservatif telah menjangkiti sejumlah mahasiswa di kampus-kampus ternama di Indonesia, antara lain; UGM, IPB, UI, Unair, dan Undip. Fakta tersebut seharusnya dibaca sebagai gejala yang mengkhawatirkan dan harus diwaspadai. Kenapa?
Deklarasi Islamic State of Iraq dan Syria (ISIS) pada tanggal 29 Juni 2014 silam kembali memakan “korban” dari beberapa warga negara Indonesia (WNI). Korban yang penulis maksudkan di sini adalah masih adanya WNI yang tertarik bergabung atas dasar hijrah dan jihad dengan organisasi transnasional pimpinan Abu Bakar al-Baghdady tersebut.
Bahkan tidak hanya masyarakat kalangan bawah, akhir tahun 2015 dikabarkan bahwa Dwi Djoko Wiwoho, pejabat di Badan Pengusahaan Batam diduga telah bergabung dan sekarang berada di teritori kekuasaan organisasi Islam transnasional tersebut. Menurut Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Direktur Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Batam itu dilaporkan tidak terlihat sejak Agustus silam. Bahkan, menurut Direktur Pencegahan BNPT, Brigjen Polisi Hamidin, saat ini Djoko sudah berada di Iraq (Tempo.co, 10/11/15).
Meski masih dalam tahap investigasi BNPT, indikasi bergabungnya warga negara Indonesia ini sungguh meresahkan. Kasus ini menambah daftar panjang orang-orang yang tertarik bergabung dengan ISIS. Dalam waktu yang hampir bersamaan, dua pemuda bernama M Rizka Fajri (27) dan Firman Fitrianeldi (30) diintrogerasi Polresta Pekanbaru karena akan bergabung ke negeri yang terus bergejolak itu.
Meskipun secara kuantitas tidak banyak, namun masih adanya orang yang tertarik bergabung dengan ISIS membuktikan bahwa propaganda ideologi yang ditebarkan tidak bisa dibilang gagal. Sebaliknya, hal ini mengindikasikan perang ideologi ini masih berlanjut dan sangat mungkin akan memakan lebih banyak korban lagi di masa yang akan datang.
Sebenarnya, apa motivasi mereka bergabung dengan organisasi transnasional tersebut? Penelitian Elizabeth Pooley berjudul A Newsisterhood:The Allure of ISIS in Syria for Young Muslim Women in the UK (2015) barangkali kali bisa menjawab kecenderungan bergabungnya umat Islam dari penjuru dunia, termasuk dari Indonesia, untuk mendukung ISIS. Dalam kajian tersebut, Pooley mensarikan empat alasan mereka bergabung. Pertama, tekanan terhadap muslim secara global. Menurut mereka, ummah (terma yang digunakan sebagai identitas ke-Islaman) dalam kondisi kritis dan situasi genting. Salah satu imigran muslimah tersebut menulis di jejaring sosialnya kegundahan tentang nasib muslim di negeri lain.
Kedua, kesempatan membangun masyarakat baru (a new society). Deklarasi yang diprakasai oleh Abu Bakar al-Baghdady pada 29 Juni 2014, nyatanya, menjadikan mereka berpikir bahwa telah ada destinasi untuk bermigrasi atau dalam term mereka adalah hijrah. Migrasi ke teritori ISIS menjadi jawaban atas kondisi yang mereka rasakan di kehidupan sebelumnya ketika masih bertempat tinggal di Inggris. Salah seorang imigran muslimah menulis, “Alhamdulillah [praise to God], we finally have a state that all muslims can call home”.
Ketiga, tugas agama. Bagi mereka, berdirinya ‘negara Islam’ merupakan suatu berkah. Sehingga bermigrasi ke wilayah kekuasaan ‘negara Islam’ tersebut menjadi satu kewajiban bagi muslim. Bahkan disebutkan bahwa migrasi tersebut dinilai sebagai satu kemewahan yang dapat mendekatkan mereka pada Tuhan. Wujud dari pemaknaan mereka terhadap apa yang disebut sebagai ‘tugas agama’ termanifestasikan ketika suami mereka yang berjihad di medan pertempuran meninggal dunia. Dari penelusuran Pooley didapatkan mereka mendoakan suami mereka mati dalam keadaan syahid. Mati syahid, di dalam Islam, merupakan puncak kebahagiaan bagi setiap muslim.
Terakhir, pengalaman diasingkan di masyarakat Barat memotivasi meraka mencari pola persaudaraan yang baru. Perasaan terasingkan di negeri sendiri menjadi alasan yang membuat mereka bergabung dengan khilafah baru (the new caliphate). Diskriminasi agama yang terwujud dalam bentuk islamofobia di Barat dan terjadinya erosi multikulturalisme kian menguatkan tekad mereka bergabung dengan ISIS.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Pooley ini sangat mungkin menjadi alasan yang menguatkan tekad (sebagian kecil) WNI mendukung dan bergabung dengan ISIS. Kuatnya ideologi yang disebarkan lewat media sosial menjadi semacam jendela dan pintu yang menjembatani kegelisahan dan keresahan mereka melihat ‘dunia Islam’ yang, dalam pandangan mereka, tengah dalam himpitan ancaman. Sedangkan, dalam waktu bersamaan, ISIS menawarkan satu jalan cepat menuju kerajaan baru yang mereka klaim sebagai khilafah.
Perang ideologi yang dipertontonkan sejumlah gerakan islam radikal, baik di Indonesia maupun di dunia internasional, patut menjadi perhatian kita bersama. Mengingat potensinya mengancam tidak hanya bagi mereka yang berbeda secara frontal dalam tataran ajaran agama, namun juga bagi mereka yang berbeda pandangan dalam hal-hal yang furu’ (cabang) dalam doktrin agama. Darurat radikalisme dan perang ideologi transnasional ini sudah sepatutnya diperhatian bersama. Sebelum semuanya terlambat dan kita menangisi kegagapan yang telanjur menjadi bubur.