Merebaknya kabar tentang kelompok radikal yang masih juga menyeret-nyeret nama Islam dalam deretan kekerasan yang mereka lakukan tentu menimbulkan keprihatinan, bukan saja lantaran Islam menolak keras kekerasan, tetapi juga karena kekerasan seharusnya sudah tidak memiliki tempat lagi di tengah masyarakat modern seperti sekarang.
Tentang anggapan bahwa Islam mengajarkan, atau bahkan memaksa umatnya untuk melakukan kekerasan, KH. Tubagus Agus Fauzan, ketua yayasan al Falak, Bogor angkat suara. Menurutnya, Islam menolak keras kekerasan. Hal itu dicontohkan langsung oleh Rasul, di mana rasul konsisten menyampaikan dakwah dengan santun, tidak mengedepankan emosi, tidak ada arogansi. Rasul bahkan selalu menahan para sahabatnya yang hendak bertindak tegas/kasar kepada orang-orang yang menetang ajaran yang dibawanya.
Meski demikian, beliau mengakui pola pengajaran Islam mengalami pergeseran, tidak lagi fokus pada perbaikan diri, tetapi menghakimi orang lain.
“Entah kapan pola ini berubah,” ungkapnya.
Perubahan pola ajar dan pola guna Islam inilah yang menjadi ladang subur untuk pertumbuhan gerakan radikal yang mengatasnamakan agama. Pola ajar yang salah akan menggiring seseorang terhadap pemahaman yang salah pula. Seperti misal, perintah jihad yang dimaknai serupa dengan jahat.
“Islam memang memerintahkan jihad, bahkan jihad sampai mati, namun jihad ini adalah bersungguh-sungguh mendekatkan diri pada Allah,” jelasnya.
Lebih lanjut beliau menjelaskan, jihad memang kerap dimaknai sebagai perintah perang, dan itu memang benar. Namun perang yang dimaksud bukanlah perang kepada orang lain, melainkan keteguhan hati untuk memerangi seluruh perangai buruk yang ada pada diri sendiri. Dan, inilah jihad yang harus dilakukan sampai mati. Jihad untuk memperbaiki diri tidak boleh berhenti.
Jihad ini, sambungnya, tidak hanya bisa diberikan dalam bentuk pengajaran, tetapi harus melalui pembiasaan. Inilah yang terus-menerus dilakukan pesantren, di mana agama tidak hanya dijadikan bahan pelajaran, tetapi juga praktek langsung di kehidupan.
Salah satu cara yang digunakan pesantren untuk melakukan ‘perang’ terhadap diri sendiri ialah melalui metode wirid/dzikir. Wirid dimaksudkan untuk membersihkan hati, agar diri bersih dari iri, dengki dan pikiran keji. Tentang wirid ini, Yai Agus, begitu beliau biasa disapa, memiliki catatan khusus. Meski tidak tampak secara kasat mata, hati merupakan komponen paling penting dalam pembentukan jati diri seseorang. Karenanya upaya untuk membersihkan hati tidak jarang begitu menguras tenaga.
Orang yang berdzikir dengan sungguh-sungguh tidak jarang akan tampak begitu tidak tenang, mereka mengeluarkan keringat dingin, bahkan sampai berteriak-teriak seperti orang sedang kesurupan. Hal ini merupakan pertanda bahwa hatinya masih jauh dari Allah, dan ia menderita karena itu. Ibarat orang yang sedang marahan, meskipun fisik mereka berdekatan, mereka akan tetap berbicara dengan nada dan volume tinggi; Itu karena hati mereka sedang berjauhan.
Hal ini pula yang terjadi pada kelompok radikal, yang terlalu mudah berteriak-teriak dan penuh emosi manakala membahas masalah agama. Menurutnya hal ini justru menandakan bahwa kelompok itu hatinya masih jauh dari Allah, laiknya orang yang sedang marahan tadi. Sehingga semakin kencang mereka berteriak, semakin kelihatan pula bahwa mereka jauh dari Allah.
Lebih tegas beliau menyatakan; “Sifat kasar yang ditunjukkan oleh orang dengan mengatasnamakan agama menandakan bahwa mereka sebenarnya jauh, dan sengaja menjauhkan diri dari Allah.”
Karenanya beliau menegaskan kembali bahwa Islam adalah akhlak, di mana tingkat keimanan seseorang hanya bisa dilihat dari akhlaknya, bukan atribut keagamaan yang ditempelkan padanya. Urusan akhlak pula yang menjadi ‘misi’ utama Rasul ketika ia diutus ke dunia, yakni untuk menyempurnakan akhlak. Kekerasan, permusuhan dan kecenderungan untuk mengkafirkan kelompok lain yang berbeda pemahaman tentu bukan perwujudan dari akhlak yang baik.
Akhlak yang baik adalah akhlak yang mampu memberi kebaikan kepada sesama. Sehingga orang yang berakhlak adalah orang yang bermanfaat terhadap sesamanya. Jihad terbesar yang harus dilakukan oleh segenap muslim adalah jihad yang ditujukan untuk memperbaiki akhlak, bukan sikap urakan yang membuat kita muak. Sekali lagi, karena Islam adalah akhlak.