Berbagai fenomena perpecahan di tubuh umat Islam dewasa ini mengindikasikan bahwa kasih sayang masih menjadi entitas yang langka. Indahnya kasih sayang dalam jalinan silaturahmi pun semakin terpinggirkan. Lebih miris lagi, ada beberapa pihak yang mengklaim bahwa golongannya merupakan pihak yang benar dalam ber-Islam. Tak hanya berhenti pada titik itu, mereka pun menebar benih permusuhan kepada sesama muslim yang tidak seideologi.
Dewasa ini, tidak jarang oknum juru dakwah justru mengajarkan kekerasan. Paham radikalisme begitu mengancam masyarakat. Banyak masyarakat yang lemah dalam memahami ilmu agama menelan mentah-mentah ajaran radikalisme sehingga melakukan teror dan kekerasan. Semua itu mereka lakukan demi mengejar ridha Tuhan. Padahal, Islam bukanlah agama yang menebar teror dan kekerasan. Sebaliknya, Islam merupakan agama kasih sayang. Penganut agama Islam semestinya merupakan sosok yang memiliki nilai dan sikap humanis sehingga mampu menjadi inspirasi perdamaian di lingkungannya.
Perlu disadari bersama bahwa Nabi Muhammad Saw,. manusia yang membawa misi keselamatan bagi semesta merupakan pribadi yang sangat welas asih. Allah Swt. menggambarkan kepribadian Nabi Muhammad Saw. dalam firmanNya (QS. 9: 128), “Benar-benar telah datang kepada kalian seorang utusan dari kalangan kalian sendiri (bukan dari kalangan malaikat atau jin) yang terasa berat baginya penderitaan kalian, dan kepada orang-orang beriman sangat pengasih lagi penyayang.”
Terhadap sesama muslim, Rasulullah Saw. senantiasa bersikap penuh cinta. Ia menyebarkan kasih sayang, kelembutan, dan sikap kemanusiaan. Sedangkan, terhadap orang kafir, Rasulullah Saw. mengajak pada kebaikan dengan penuh kelembutan. Rasulullah Saw. senantiasa mengedepankan sikap toleransi. Meski disakiti atau dihina, Rasulullah Saw. tetap memancarkan sikap kemanusiaan yang paling tinggi, yakni kasih sayang dalam bingkai kelembutan.
Secara implisit, betapa terbaca bahwa kasih sayang merupakan fondasi utama perdamaian. Dengan adanya sifat dan sikap kasih sayang, maka seseorang akan menghindarkan diri dari berbuat onar, menyakiti orang lain, dan bahkan menjadi pribadi yang menyejukkan hati.
Dikisahkan dalam sebuah hadist shahih Imam Muslim bahwa suatu hari, ada rombongan orang-orang Yahudi menghadap dan sengaja memberi “salam” kepada Nabi Muhammad Saw. dengan ucapan, “Assamu’alaikum!” yang artinya, “Kematian bagimu!” Ketika itu, istri Nabi Muhammad Saw., yakni Aisyah r.a. langsung mengatakan, “Bal’alaikumussam wal la’nah!” yang artinya, “Sebaliknya, bagi kamulah kematian dan laknat!”. Mendengar itu, Nabi Muhammad Saw. pun menegur, “Aisyah, Allah menyukai kelembutan dalam segala hal.”
Keteladanan Rasulullah Saw. di atas semestinya menjadi pelita bagi umat Islam untuk bersikap halus dalam segala hal, dalam arti tidak dengan kekerasan yang membekaskan luka, baik fisik atau pun psikologis. Berbagai macam perbedaan yang terdapat dalam dunia ini merupakan keniscayaan tak terbantahkan. Dan, perbedaan semestinya menjadi warna dalam kerukunan, keharmonisan, dan ketentraman. Oleh karena itu, umat Islam harus mengatasi paham radikalisme dengan sikap arif.
Memperbanyak ilmu pengetahuan agama dan mengenal pribadi Nabi Muhammad Saw. secara lebih dekat merupakan sarana yang efektif untuk menangkal paham radikalisme. Nabi Muhammad Saw. merupakan pribadi yang sangat menonjol dalam sikap kasih dan sayang. Dalam kisah yang lain, Gus Mus (2016) juga pernah menuturkan bahwa Rasulullah Saw. merupakan manusia yang agung dan bertindak dengan landasan kasih sayang. Ketika perintah atau pendapatnya dibantah, Nabi hanya berpaling dan memukul-mukul pahanya sendiri sambil menggumamkan ayat, “Manusia memang paling pandai membantah.”
Semakin menyelami kepribadian Nabi Muhammad Saw., semakin kuat pula pemahaman bahwa betapa Islam mengajarkan jiwa untuk memiliki nuansa kasih dan sayang. Seiring dengan hal itu, maka akan terbit pula keyakinan bahwa pribadi yang penuh kasih dan sayang selalu mampu menjadi duta perdamaian yang dicintai Allah Swt. dan para makhluk-Nya. Perbedaan dalam berpendapat atau pun beragama dalam perspektif Khalifah Ali bin Abi Thalib dan Umar Bin Khathab justru menghadirkan peluang untuk menumbuhkan dimensi kemanusiaan. Pada poin inilah, segenap umat Islam mesti memahami bahwa perbedaan merupakan ujian untuk meningkatkan kualitas ketentraman dan kedamaian.
Imam Ali secara implisit menegaskan bahwa perbedaan bukanlah masalah, karena selain perbedaan, masih terdapat persaudaraan. Setiap manusia pada hakikatnya merupakan makhluk Tuhan yang diciptakan sebagai khalifah. Semua makhluk Tuhan adalah keturunan Adam yang dimuliakan Tuhan. Mereka harus saling memuliakan antara satu dengan yang lain (Misrawi, 2009). Betapa perbedaan yang ada dalam interaksi sehari-hari merupakan ruang yang potensial agar sikap toleransi dan kasih sayang dapat tumbuh subur dan memberikan keteduhan. Mari, bersama menegakkan komitmen untuk meneladani Nabi Muhammad Saw. dalam bersikap penuh kasih sayang sehingga melahirkan suasana ketentraman. Seiring dengan mengasah sikap kasih sayang sesuai ajaran Nabi, semoga kualitas kemanusiaan kita pun semakin meningkat sehingga mengantarkan pada derajat mulia dan kebahagiaan dunia dan akhirat. Wallahu’alam.