Banyak orang takut dengan istilah khilafah. Ketika kata itu disuarakan serta merta orang terbawa pada sejarah masa lalu di mana sistem yang diberlakukan adalah Islam yang kaku dan rigid. Ada juga yang mendadak terpikir pada organisasi yang akhir-akhir ini marak membunuh orang tanpa ampun atas nama Islam dengan pola kepemimpinan khilafah. Organisasi itu bernama ISIS. Akibatnya, khilafah dikenal dengan sebuah sistem pemaksaan beragama dan ketundukan pada satu pemimpin yang kejam.
Pemikiran di atas bisa diterima jika mengingat kondisi saat ini di mana radikalisme agama menyeruak ke permukaan. Namun, jika hanya bertumpu pada defenisi itu tentu tidaklah mencukupi untuk memahami sistem khilafah yang ada dalam Islam. Karena khilafah yang kaum radikalis utarakan berangkat dari kehendak dan ambisi untuk menindas yang berbeda. Artinya, dapat dipahami, definisi khilafah tidak sesimpel yang diusung oleh kaum radikal. Lalu bagaimana Islam berbicara soal khilafah?
Dalam Islam, setiap Nabi adalah khalifah bagi kelompok atau umatnya. Nabi Adam merupakan khalifah pertama yang disebutkan secara tekstual dalam al Qur’an. Itu artinya, sistem khilafah tidak bisa diartikan sebagai kepemimpinan Islam dalam satu negara atau satu-satunya pemimpin dalam Islam. Jelas tidak bisa. Khilafah lebih kepada kepemimpinan umat perkelompok. Apa lagi, Islam tidak mengenal istilah daulah atau negara. Justru yang ditekankan dalam Islam adalah kepemimpinan dalam satu kelompok umat untuk bersama-sama hidup rukun dan damai. Umat ini pun tidak ditentukan apa agama dan rasnya. Karenanya, wajar jika Nabi Sulaiman bisa menjadi khalifah bagi hewan, tidak hanya umat manusia.
Begitu juga istilah syariah dalam sistem khilafah. Al Qur’an mengakui bahwa Nabi-nabi terdahulu memakai syariah Islam. Akan tetapi, syariahnya tidak pernah sama. Allah berfirman dalam al Qur’an “wa likullin ja’alna minkum syir’atan wa minhajan”. Bahwa tiap-tiap umat memiliki syariah dan manhaj masing-masing. Hanya saja, dari Nabi Adam hingga Nabi Muhammad, syariah yang ditegakkan itu tetap berpacu pada keadilan sosial. Yakni keberpihakan terhadap orang-orang yang tertindas (al mustadh’afin) dan keadilan (al ‘adalah).
Jadi, upaya penyempitan makna syariah Islam sebagaimana yang didengung-dengungkan oleh kaum radikal itu pada hakekatnya tidak memiliki landasan Qur’ani. Mereka justru memakai istilah ‘syariah Islam’ untuk kepentingan dirinya meraup kekuasaan. Syariah Islam itu sangat luas sekali. Al Razi dalam tafsir al Qur’annya “Mafatihul Ghaib” memaknai syariah Islam sebagai aturan hukum yang didasarkan pada keadilan sosial yang datangnya tidak hanya dari al Qur’an dan Hadits, tapi juga hasil ijtihad manusia dengan melihat konteks yang ada di mana hukum itu dibuat.
Defenisi Al Razi sebagaimana disebutkan di atas berangkat dari kisah Umar ibn Khattab yang tidak memotong tangan pencuri karena kelaparan. Pertimbangan soal lapar ini merupakan ulah pikir manusia yang tidak termaktub dalam al Qur’an, namun tidak bertentangan dengan Islam. Justru, pertimbangan soal ‘lapar’ ini, demikian al Razi, merupakan syariah Islam karena berbasis keadilan. Artinya, syariah Islam itu tidak harus tekstual tetapi berkelindan dengan kondisi dan situasi yang ada. Jelasnya, ada unsur ijtihadi dalam syariah Islam.
Jika defenisi syariah Islam berbunyi demikian, maka apa yang perlu digugat dalam sistem negara Indonesia? Karena penerapan syariah Islam di Indonesia pada hakekatnya sudah berjalan sesuai dengan al Qur’an dan Hadits. Begitu juga kepemimpinan yang dimaksud dalam sistem khilafah sudah ada di negeri ini.
Siapa khalifah yang dimaksud? Mereka para kiai dan ulama di pelosok nusantara yang berada di tengah masyarakat. Mereka kerap pula disebut kiai kampung. Karena mereka, kiai kampung itu, yang secara terus menerus mengurus masalah masyarakat dari aspek hukum, ekonomi, masalah rumah tangga, dan lain-lain.
Ciri-ciri kiai kampung itu salah satunya adalah ketulusan dalam mengabdi dan mengayomi masyarakat tanpa ada ambisi kekuasaan seperti mengubah sistem negara. Kepemimpinan mereka adalah contoh keberpihakan seorang khalifah dalam mengayomi masyarakat tanpa tendensi kekuasaan. Justru, yang ada dibenaknya adalah kedamaian bukan mencaci maki dan memprovokasi umat. Merekalah khalifah yang sebenarnya. Wallahu a’lam.