Indonesia merupakan negara yang menjunjung tinggi hukum. Adanya tata aturan hukum yang berlaku tentu dalam rangka kedamaian kita bersama. Namun, hukum seolah-olah menjadi tumpul ke atas, runcing ke bawah. Para koruptor di pelihara merajalela, namun di sisi lain pencuri ayam di kampung dihakimi masa sampai babak belur. Peristiwa main hakim sendiri (vigilantisme) semacam ini tanpa sadar merusak citra negara hukum yang akhirnya terjadi ketidakdamaian negeri.
Belum lagi kasus-kasus lainya yang setiap harinya menghiasi media massa seolah tak adahabisnya. Perdamaian yang menjadi cita-cita luhur pra-kemerdekaan dewasa ini justru semakin menjauh tungku dengan apinya. Setiap orang lebih mendahulukan diri sendiri atau kelompoknya dari pada mengutamakan kemaslahatan bersama. Teknologi dan informasi yang diciptakan sebagai sarana mendekatkan dan memberi ruang dan waktu yang fleksibel justru memunculkan paradok baru dimana sifat individualisme berkembang pesat. Hingga akhirnya, memunculkan istilah peradaban global dengan mental lokal.
Menurut hemat penulis akar dari jauhnya misi perdamaian adalah sikap egosentris yang lebih condong pada persoalan kesukuan, budaya, dan agama. Setiap orang/kelompok sibuk memenuhi haknya sendiri tanpa peduli melanggar hak lainnya. Hal ini terjadi karena masing-masing pihak memimpikan keadilan sebagai final kehidupan. Persamaan kehendak akan keadilan inilah yang mana kala dibungkus dengan sikap egois dan individual akan melahirkan konflik dan memburamkan perdamaian itu sendiri. Langkah nyata untuk mewujudkan cita-cita negeri ini akan hidup aman dan damai hanya mungkin diraih dengan membudayakan kembali sikap altruistik dan kerjasama.
Budaya Altruisme
Sikap altruisme menghendaki setiap individu tidak lagi berpikir tentang dirinya namun berpikir tentang orang lain. Rasa peduli inilah yang pada akhirnya melahirkan perdamaian abadi dan bermuara pada keadilan dan kemakmuran sebagaimana di wacanakan dalam pembukaan UUD 1945. Sementara kerjasama memungkinkan setiap orang untuk saling memikul beban yang sama seperti yang dicontohkan semut sehingga setiap pihak tidak pernah saling mendahului dan menjatuhkan.
Ketika seseorang tidak lagi sibuk memikirkan tentang dirinya semata, maka sangat mungkin perdamaian akan terwujud. Dengan memiliki sikap acuh, ketimpangan sosial akan semakin dipersempit. Orang kaya dan terlanjur kaya tidak akan menupuk kekayaannya dan mengabaikan saudaranya mati kelaparan. Sikap ini dapat meminimalisir keserakahan dan tradisi korup di lingkungan perpolitikan yang semakin masif. Altruisme menghendaki setiap individu sadar bahwa mereka memiliki tanggung jawab moral dan sosial pada manusia lainya.
Kerja sama
Dalam kerja sama ada dimensi kesadaran lebih lanjut untuk bersatu dan bersama menyelesaikan suatu permasalahan sehingga tidak berhenti pada kata peduli namun juga memiliki kesadaran untuk menjalin silahturahim dan menyelesaikan persoalan bersama. Hal ini senada dengan pandangan optimis Adam Smith bahwa manusia adalah homo homini socius yang bermakna manusia menjadi sahabat bagi manusia lainnya. Sebagai contoh gotong royong . Sayangnya budaya gotong royong mulai terkikis oleh kemodernan dan kapitalis yang lebih mengutamakan individualisme dan egoisme.
Membudayakan kembali kerja bersama-sama ini tidak mungkin dilakukan hanya oleh masyarakat ataupun pemerintah semata. Partisipasi semua warga negara baik sebagai keluarga, sekolah, masyarakat, pemerintah, lembaga swasta, media, dan sebagainya sangat menentukan tingkat keberhasilannya. Tentunya untuk membangun kerjasama yang solid seperti pada masa pra kemerdekaan adalah dengan menanggalkan ego masing-masing dan mulai memiliki visi ke depan dengan jiwa persatuan.
Sumpah pemuda merupakan salah satu wujud dari kesepakatan untuk memiliki satu visi dan misi sehingga berbagai perbedaan mulai etnis, budaya agama bahkan pendidikan tak pernah menjadi persoalan utama. Perbedaan yang kini menjadi kelemanahan pada masa lahirnya Sumpah Pemuda justru menjadi kekuatan untuk terus menggenggam ke-Indonesiaan dan membuktikan pandangan pesimis Thomas Hobbes bahwa manusia menjadi serigala untuk manusia lainnya (homini lupus) tidaklah terbukti.
Sikap saling tolong-menolong dan bekerja sama mungkin terwujud jika kita kembali pada ajaran agama dan moral. Karena pada dasarnya semua agama mengajarkan perdamaian. tidak ada satupun agama yang membenarkan penindasan, peperangan maupun kekerasan dengan alasan apapun.
Kehadiran moral dan spiritual memungkinkan perkembangan keutamaan diri manusia terus terjadi sehingga ironi terhadap perkembangan sains tidak menjadi jurang yang pada akhirnya menghadirkan sikap alienasi dan membawa kehancuran pada kemanusiaan manusia. Kerinduan untuk kembali ke dalam peradaban yang homogen dengan kepastian nilai yang membuat individu atau kelompok lebih unggul tidak lagi terjadi.
Harapannya dengan memiliki mental bermoral dan jiwa spiritual akan memupuk sikap peduli terhadap sesama dan melahirkan kerjasama yang solid. Keadilan pun mampu ditegakkan dan mimpi perdamaian untuk negeri ini semakin mendekati nyata tak lagi hanya menjadi angan semu semata.