Memasuki usia yang ke-72, stamina bangsa ini sebenarnya telah banyak terkuras untuk dapat memahami apa sebenarnya makna keberagaman dan demokrasi. Apakah kita berhasil keluar sebagai pemenang. Bila tidak, kenapa kita tidak kembali saja kepada model pemerintahan di masa orde baru, di mana semua hal sangatlah terkontrol. Dua Pertanyaan sinis model demikian masih sering hadir dalam sejumlah ruang perbincangan. Kita pun tidak susah mendapati hadirnya sejumlah kalimat satir yang bernada hampir serupa di kaos-kaos atau pun sejumlah tempelan dan tulisan lainnya. Apakah dengan kepasrahan untuk kembali ke model pemerintahan orde baru menjadi jalan keluar untuk persoalan ini? Jelas untuk hal tersebut, dengan tegas kita jawab, tidak. Sebab selain menjadi bentuk pengkhianatan terhadap perjuangan para pahlawan reformasi, kita pun tak bisa menyangkal banyaknya berkah kebebasan yang kita peroleh hari ini. Sehingga satu-satunya cara untuk bisa menghadapi hal tersebut adalah dengan terus belajar untuk memahami bersama hakikat keberagaman dan kebebasan berekspresi.
Belajar dari Periode Sofisme
Bila kita coba menilik sejarah hingga ke periode kejayaan Athena, persisnya setelah berhasilnya Athena menaklukkan Persia (450-380SM), maka kita akan beroleh asupan pengetahuan untuk dapat melihat kondisi yang terjadi kini. Pada masa itu kita akan menemukan sebuah kondisi yang seolah berkesusaian dengan realitas hari ini. Kondisi Athena yang meletakkan tumpuan relasi bermasyarakat dan bernegara pada sistem demokrasi, telah menggiring banyak pihak untuk masuk pada konstelasi pertarungan ide dan gagasan. Ruang keterbukaan ide, dan gagasan yang besar, mengundang semua pihak untuk turut serta berfilsafat. Era tersebut dikenal sebagai era Sofisme.
Kesesuaian seperti yang dimaksudkan di atas, berorientasi pada kesamaan keadaan ketika sistem demokrasi digunakan sebagai sistem pemerintahan. Sistem demokrasi yang dijalankan di Athena membawa mereka pada kenyataan bahwa bermunculannya kaum Sofis, yang oleh Plato dan Socrates dianggap tak lebih dari orang-orang yang memanfaatkan kesempatan untuk kepentingan pragmatis. Kaum ini memanfaatkan rezim keterbukaan untuk berjualan opini (berfilsafat) kepada massa agar berpihak kepada mereka. Lewat pengetahuan yang dimiliki dan kemampuan beretorika, membuat masyarakat terpesona sekaligus termoderasi untuk mempercayai pihak-pihak tersebut (Wibowo, 2016). Kejahatan rezim kata-kata yang dibangun kelompok tersebut dengan menunggangi sistem demokrasi mampu mendikotomikan masyarakat untuk percaya pada kelompok ini, dan pihak yang tidak percaya menjadi lawannya. Kejadian ini sebenarnya bukanlah sesuatu yang asing, terutama bila kita melihat kenyataan yang ada sejak beberapa tahun belakangan. Cara kerja kaum-kaum Sofis dalam masa sekarang pun dapat kita lihat bentuknya. Hal tersebut bisa jelas kita amati dilakukan sejumlah politisi dan pemuka agama tertentu. Pihak-pihak ini adalah orang-orang yang memiliki pengetahuan dan kemampuan beretorika juga. Mereka menggunakan kapital yang mereka miliki tersebut untuk mengganggu jalannya demokrasi dengan mengganggu keberagaman yang ada. Tujuannya hanyalah untuk kepentingan pragmatis mereka semata.
Kecanggihan teknologi yang ada semakin memberikan kemudahan untuk hal tersebut terlaksana. Bahkan mungkin bisa dikatakan bahwa sejumlah politisi dan pemuka agama tertentu tersebut telah melampaui Sofisme. Sebab dengan segala fasilitas yang ada, rezim kata-kata sudah mulai bergeser kepada sebuah paradigma baru. Post-Truth adalah idiom yang disematkan untuk menamai pola paradigma baru ini. Di mana masyarakat akhirnya semakin mengabaikan obyektifitas sebuah kenyataan dan lebih memilih percaya kepada keyakinan personal atau pun hal-hal emosional lainnya. Hal ini jelas terjadi sebagai ekses negatif sebab masyarakat-masyarakat yang ada telah “tergetarkan” sekaligus termoderasi pemahaman kelompok-kelompok tersebut.
Tidaklah mengherankan bila saat ini kita kerap menyaksikan pola fikir oposisi biner hadir sebagai langkah awal yang ekstrim guna menyeragamkan segala macam hal yang dianggap salah, hanya karena berbeda. Melalui pola oposisi biner tersebut segala hal yang berbeda dengan cara berfikir kelompok pemuka agama tertentu yang radikal akan mendapat cap negatif. Para pengikut dari kelompok ini akan terus diberikan asupan opini yang sudah tidak jelas lagi kebenarannya (sumbernya) oleh pemimpinnya. Harapannya adalah agar mereka semakin loyal dan semakin membenci segala sesuatu yang berbeda dengan mereka. Setiap pergolakan yang terjadi di akar rumput tentu akan menguntungkan para kelompok pemuka agama tertentu yang radikal dan para politisinya. Muaranya jelas berujung pada kenyataan tragis, yaitu bencana peperangan dan kepengungsian hingga potensi punahnya keberagaman dari realitas yang ada.
Athena telah merasakan pil pahit akibat kehadiran kelompok-kelompok semacam ini. Kehadiran kaum sofis yang berorientasi pragmatis telah mengkacau-balaukan cara berfikir masyarakat yang belum siap dengan percepatan filsafat yang dibawa kelompok ini. Kita benar-benar harus belajar dari hal-hal semcam ini. Sebab saat ini negara kita pun tengah mendapat gempuran luar biasa dengan upaya-upaya demikian.
Kita harus mencamkan baik-baik dalam diri kita semua bahwa sejatinya keberagaman merupakan sebuah keniscayaan yang hadir sebagai bentuk peneguhan bahwa manusia memiliki kehidupan. Pengabaian atau pun sengaja lari dari realitas tersebut tidak lain merupakan bentuk pengingkaran dan pengkhiantan atas kehidupan. Sehingga sebuah kekonyolan-lah yang tersaji, bila kemudian bersikukuh menyangkal keberagaman yang ada sebagai bagian dari kehidupan bangsa ini.