Tahun 2018 merupakan tahun politik. Agenda besar demokrasi lokal akan dilaksanakan di berbagai daerah di Indonesia, khususnya di Jawa. Media sosial sangat strategis perannya, karena bisa langsung diakses semua pengguna di berbagai pelosok desa sekalipun. Dari sini, media sosial akan dimanfaatkan untuk kepentingan hajatan demokrasi. Kalau digunakan untuk kebaikan, itulah yang selalu diharapkan. Tetapi kalau digunakan untuk memecah belah persatuan, maka semua pihak harus bersatu melawannya. Karena media sosial hanyalah alat yang harus digunakan untuk rahmat bagi semuanya. Iya, media sosial harus hadir sebagai rahmatan lil’alamin.
Dalam konteks berdemokrasi di tahun 2018, isu agama akan menjadi pemicu yang luar biasa. Ingatan kita bisa melesat tahun 2017 dalam Pilkada DKI Jakarta, dimana isu agama bisa merusak tatanan persaudaraan antar sesama. Semua berebut menjadi pejuang agama dalam Pilkada, padahal yang dilakukan sama sekali tidak terkait dengan agama. Itu makin luas pengaruhnya karena media sosial, dimana semua orang seolah berjihad dengan media sosial, seperti sedang membela Tuhan. Padahal kata Gus Dur, Tuhan tidak perlu dibela. Yang dibela adalah manusia.
Media sosial seringkali mudah munjustifikasi orang lain, tanpa ada klarifikasi atau musyawarah. Padahal, musyawarah sangat penting dalam sebuah tatanan demokrasi. Ini ditegaskan oleh almarhum Nurcholis Madjid dalam Pintu-pintu Menuju Tuhan, (Jakarta; Paramadina, cet. iii, 1995), halaman 252, bahwa dari segi politik, Rasulullah telah mengajarkan bagaimana memerintah suatu negara, mengayomi masyarakat, bekerjasama dengan negara lain dan bagaimana menyelesaikan masalah yang memang diarahkan pada musyawarah, sebagaimana dijelakan dalam al-Qur’an dan hadis.
Cak Nur, panggilan akrab Nurcholis Madjid, selalu mengajak umat Islam untuk selalu jernih dalam memahami ajaran Islam. Sebagai rahmatan lil’alamin, Islam merupakan agama peradaban, agama kemanusiaan, yang selalu memberikan solusi di tengah berbagai krisis. Menggali ajaran Islam melahirkan ilmu yang luar biasa, yang selalu sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat.
Dari sini, pergulatan sejarah Islam selalu hadir dengan wajah musyawarah. Dari musyawarah itulah rahmat Islam menemukan titik geraknya. Pancasila merupakan hasil musyawarah umat Islam dengan yang lainnya untuk memberikan keberkahan dan kemaslahatan bagi Nusantara. Menurut Akhmad Sahal (2017), dalam konteks Pancasila, setiap pemeluk agama bebas meyakini dan menjalankan ajaran agamanya, tapi mereka tak berhak mendesakkan sudut pandang agamanya untuk ditempatkan sebagai tolok ukur penilaian terhadap pemeluk agama lain. Simaklah Sukarno dalam pidato bersejarahnya tentang lahirnya Pancasila 1 Juni 1945: “Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al-Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW, orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada egoisme agama. Marilah kita amalkan, jalankan agama baik Islam maupun Kristen, dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah hormat-menghormati satu sama lain.”
Medsos yang Rahmatan Lil’alamin
Menjadikan medsos untuk rahmatan lil’alamin adalah keniscayaan. Egoisme sebagian warga negara yang menjadikan medsos untuk memecah belah persatan dan tidak mengakui NKRI harus menjadi perhatian semua elemen bangsa, karena NKRI adalah hasil kesepakatan para ulama dan pendiri bangsa ini dalam rangka meneguhkan Islam sebagai rahmatan lil’alamin.
Medsos harus diorientasikan dan digerakkan dalam membangun kemaslahatan publik. Dalam ranah sosial-politik, prinsip ini bisa diterjemahkan sebagai terciptanya keadilan sosial dalam kerangka demokrasi. Dalam konteks kemaslahatan NKRI, medsos harus dikontekstualisasikan dalam trilogi persaudaraan(ukhuwah) yang dicetuskan KH Achmad Siddiq yakni, persaudaraan Islam(ukhuwwah Islamiyah), persaudaraan kebangsaan(ukhuwwah wathaniyah), dan persaudaraan kemanusiaan(ukhuwwah basyariyah).
Visi medsos sebagai rahmatan lil’alamin harus diperjuangkan semua elemen bangsa, khususnya warga negara yang setia untuk menjaga persatuan dan kesatuan. Dengan saling menguatkan semua gerakan rahmatan lil’alamin, maka medsos menjadi alat sekaligus startegi yang menginspirasi gerak langkah dalam meneguhkan keutuhan NKRI.