Di Bawah Naungan Indonesia

Di Bawah Naungan Indonesia

- in Kebangsaan
2547
0

Beberapa waktu belakangan, pertikaian akibat ragam sudut pandang semakin menjadi, apalagi jika mengangkut perihal keagamaan. Bagi sebagian besar masyarakat, perbedaan pendapat dihadapi dengan bertukar pikiran dan saling menghargai argumentasi pihak lain. Namun bagi sebagian kecil masyarakat lainnya, perbedaan pandangan bisa berakhir pada saling tuding dan tuduh. Tentu saja tudingan dan tuduhan itu tak pernah dibekali oleh fakta yang jelas dan tak perlu syarat yang masuk akal. Para pengguna internet pasti sudah terbiasa dengan fenomena ini.

Dalam catatan saya setidaknya ada sejumlah tuduhan yang disematkan oleh sekelompok kecil orang berpaham ‘keras’ terhadap kelompok besar moderat di Indonesia. Mereka yang berfikir moderat dan berusaha menampilkan Islam dalam wajah yang ramah kerap dituding macam-macam. Tudingan itu seperti Sepilis (Sekuler, Pluralis, dan Liberal), Komunis, Syiah, dan Kafir. Dengan dituding seperti itu maka label sesat pasti turut disematkan.

Tuduhan itu tak mengenal tokoh dan tanpa perlu menelisik latar belakang orang yang dituding. Dari mulai orang biasa, dosen, guru besar, atau bahkan ulama, mungkin saja dilabelkan sesat hanya karena dianggap berbeda. Dan pasti tudingan itu menyakitkan, apalagi jika yang dituding tidak merasa berada dalam kesesatan seperti yang dituduhkan.

Ada beberapa analisa yang menjelaskan kenapa tudingan sesat itu digulirkan. Pertama, kesadaran adanya perang opini antar kelompok yang ada. Namanya perang opini, upaya mempengaruhi orang lain penting dilakukan untuk memperkuat basis dukungan. Kedua, soal paham keagamaan yang diyakini. Sebagian kelompok yang kini tengah berkembang hanya meyakini kebenaran yang berasal dari kelompoknya sendiri. Kebenaran atau sudut pandangan orang lain dianggap sebagai hal membahayakan, karena itu harus ditolak.

Terakhir, sebagai analisis ketiga, adanya rekayasa meng-kriminalisasi kelompok lain. Targetnya, menciptakan kebencian dan permusuhan dengan terhadap pihak tertentu. Biasanya rekayasa analisis ketiga ini terkait dengan geo politik dan konflik di dunia internasional. Sebut saja upaya sejumlah pihak yang menganggap Iran sebagai ancaman menggunakan Syiah sebagai madzhab resmi negara itu sebagai sumber kesesatan umat.

Potensi konflik yang mengatasnamakan agama dan keyakinan semestinya tak perlu terjadi. Apalagi di Indonesia yang konsensus bernegaranya tidak mengenal mayoritas dan minoritas. Iya, negara ini dibangun atas kesadaran saling menghormati dan menjaga hak-hak keyakinan orang lain. Dengan begitu semestinya Indonesia –berikut semua konstitusinya- menjadi perekat dan pencegah konflik antar golongan.

Para pendiri Republik telah berfikir susah payah untuk persatuan Indonesia. Mereka sadar bangsa ini bukan milik satu golongan, agama, atau etnis tertentu saja. Mereka pun tahu perbedaan itu tak mungkin bisa menjadi kesatuan. Karena itu, dasar negara yang dipilih pun berangkat dari perbedaan yang bersatu di bawah satu kesepahaman nilai dan konsensus.

Cara berfikir kebangsaan seperti para bapak pendiri bangsa itu sebenarnya bukan barang baru. Jauh 14 abad sebelumnya, Nabi Muhammad pernah mencontohkannya. Piagam madinah adalah dokumen tidak terbantahkan yang berasal dari zaman kenabian. Nilai yang terkandung di dalamnya nyaris sama dengan nilai yang ada dalam Pancasila. Semua warga, apapun suku dan agamanya, memiliki kewajiban dan hak yang sama. Semua warga diwajibkan bahu membahu menolong kesulitan warga lainnya. Negara pun harus melindungi perbedaan itu. Jika demikian, dari mana teladan yang dianut kelompok tukang tuding itu?!

Facebook Comments