Sudah tak terhitung banyaknya politisi yang hendak maju dalam setiap kontestasi politik praktis dengan menggunakan politik Suku, Agama, Ras dan Antar golongan (SARA) sebagai kereta pendorong agar ia dapat maju. Tentunya elemen sara yang kuat untuk digunakan di masing-masing ruang (tempat) pastinya berbeda. Namun bila kita bersoal mengenai ranah politik di Indonesia secara umum, maka hal yang akan terlintas di benak kita tentunya adalah kata agama. Sebab, diakui atau pun tidak, daya gedor agama bila diinstrumentalisir dalam ruang politik praktis terhadap psikologis masyarakat kita masih sangat kokoh untuk dapat ditembusi bahkan oleh realitas yang ada. Masyarakat kita, masih sangat sukar untuk melihat secara kritis adanya fenomena agama yang diinstrumentalisir dalam sebuah panggung politik.
Memang harus diakui bahwa setelah reformasi, semua akses untuk banyak hal jadi terbuka, salah satunya adalah kesempatan untuk berpolitik bagi semua pihak. Bahkan cara-caranya pun semakin bervariatif. Tidak melulu lagi mesti menggunakan jalur konvensional dengan meniti karier berpolitik melalui partai politik saja. Melainkan juga dapat menggunakan sarana media sosial untuk dapat memunculkan diri sebagai seorang tokoh yang dikenal masyarakat. Dengan menjadi seorang yang populis, maka potensi dirinya untuk dapat menjadi opsi figur di masyarakat akan semakin besar. Bila sudah demikian, tentu kesempatan orang tersebut pun semakin terbuka bila hendak masuk dalam ruang pertarungan politik praktis.
Untuk sampai pada tujuannya, yaitu menjadi populis di mata masyarakat, banyak pihak yang kemudian menggunakan dan menunjukkan keberpihakannya dengan menempelkan dirinya pada identitas tertentu yang potensial membuatnya naik. Salah satu identitas yang dapat digunakan dalam hal ini adalah identitas kesukuan, agama, ras dan golongan. Terkhusus untuk identitas agama saja, jumlahan penggunanya sangat luar biasa. Dalam buku yang ditulis oleh Cherian George yang bersoal mengenai agama yang kerap digunakan sebagai sarana hate spin (pelintiran kebencian) ditiga negara yang merupakan sampelnya (salah satunya di Indonesia), ditemukan bahwa hadirnya para “enterpreneur politik-agama” yang berhasil mengkapitalisasinya menjadi dukungan (George, 2016).
Ironi di Masyarakat
Sialnya, meskipun sudah banyak publikasi dan upaya penyadaran akan hal ini, tetap saja banyak masyarakat yang masih larut dan terhanyut mengikuti pusaran isu-isu yang digaungkan oleh para entrepreneur politik-agama yang bermunculan. Salah satu isu yang paling kuat untuk dikonsumsi masyarakat adalah vis a vis antara kafir dan non-kafir. Para entrepreneur politik-agama yang ada kemudian menjual konsep tersebut untuk dapat merebut hati masyarakat dan membuat lawan politik yang lain kandas. Banyak dari masyarakat yang mengira dengan mengikuti orang-orang yang demikian akan memperoleh keberkahan dalam hidup. Padahal, satu hal yang sudah pasti terjadi adalah fenomena politisi yang busuk lahir karena masyarakat yang menolak untuk berfikir dan lebih mengutamakan kesamaan identitas. Pada gilirannya, masyarakat sendiri yang akan menjadi pesakitan.
Merdeka sejak Berfikir
Hadirnya agama dalam kehidupan manusia tidak dapat dilepaskan dari proses hidup manusia dan interaksinya. Mungkin inilah yang menjadikan hari ini kita masih bergelut dengan fenomena ini. Namun, menyerah pada keadaan tentulah bukan hal yang kita harapkan. Upaya menjaga keberagaman tetap menjadi hal utama yang harus dijunjung tinggi. Untuk mengawali hal tersebut, tiada hal lain yang mesti dilakukan selain memulainya sejak dalam fikiran kita. Dalam konteks di atas, maka yang harus dilakukan sejak awal adalah memerdekakan alam fikiran kita untuk bertanya pentingnya mengedepankan emosi identitas ketimbang rasionalitas melihat figur yang hadir dan rekam jejaknya. Kita mesti menolak masuk dalam lingkaran keterjajahan yang dibuat oleh para enterpreneur politik-agama tersebut.
Seorang filsuf besar bernama Rene Descartes sendiri pernah mengungkapkan “Cogito Ergo Sum” yang artinya, “aku berfikir, maka aku ada”. Dengan berfikir, manusia menjadi mahluk yang menempatkan dirinya pada kitah-nya sendiri. Sehingga bila hal tersebut kita abaikan dan lebih memprioritaskan emosi identitas, khususnya agama tertentu, maka babak keberagaman di negara ini akan mencapai titik nadirnya. Perlahan penyeragaman atas nama penghormatan terhadap identitas keagamaan tertentu membuat kita akan semakin berjarak dengan konsep Bhineka Tunggal Ika.