Selama beberapa dekade terakhir media sosial telah mengalami perkembangan sangat signifikan. Bahkan keberadaannya pada era milenium ini semakin liberal. Komunikasi antar individu kian tak terbendung dan tak terhalangi disebabkan mudahnya akses berbagai informasi dari tidak sedikit media. Tentu saja informasi yang ada di dalamnya sangat beragam, mulai berupa informasi yang benar hingga informasi yang tidak benar (hoax). Namun ternyata kemudahan akses informasi tersebut tidak diimbangi dengan filter secara kuat pada masing-masing individu terhadap konten atau informasi yang tersaji, sehingga seringkali menyebabkan permasalahan yang tak berkesudahan di dalam masyarakat.
Yang menjadi ironis, saat ini aktor-aktor pembuat informasi bernuansa negatif semakin menggurita, yang kapan dan di mana saja siap melakukannya. Dan sangat disayangkan, isu-isu yang bernuansa suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) menjadi lahan yang paling diminati. Sebab, permasalahan serupa sangat mudah untuk dipertontonkan. Disebabkan permasalahan yang sangat sepele, yang kemudian dibumbui dengan isu SARA, permasalahan menjadi besar hingga bahkan seperti tak ada jalan keluarnya. Akibatnya, masyarakat menjadi korban realitas virtual.
Pada era demokrasi sebagaimana sekarang ini, yang paling rawan dijadikan basis munculnya isu SARA adalah Pemilu, termasuk di antaranya Pilkada serentak yang Juni mendatang akan dilaksanakan. Diakui maupun tidak, tidak jarang ditemukan ketika Pemilu berlangsung, setiap calon pasangan menggunakan magisnya untuk berebut tahta kekuasaan. Salah satu magis ampuh yang dijadikan alat adalah isu SARA. Apalagi saat ini didukung oleh media, yang realitas virtualnya sangat mengena hingga ke pelosok nusantara.
Keadaan ini tentu menjadi ironi dalam sebuah negeri, karena ekskalasi negatifnya sangat besar. Jika berkaca pada kasus-kasus SARA yang telah lalu, khususnya yang terjadi dalam pergelaran Pilkada, konflik horizontal di dalam masyarakat menjadi buktinya. Hanya karena berbeda pilihan politik, masyarakat satu dengan yang lain menjadi tidak rukun, bahkan hingga bertahun-tahun. Sekali lagi, ini disebabkan aroma isu SARA yang ditampilkan dalam Pilkada, dibarengi oleh akses media yang semakin tak terkendali.
Hingga saat ini pun masih banyak ditemukan ujaran kebencian dan nyinyiran antara pendukung satu dengan yang lain di berbagai media, meskipun Pilkada telah terlaksana satu tahun lalu. Aroma permusuhannya masih sedap hingga sekarang, dan tidak tahu, kapan permusuhan tersebut akan berakhir, jika antara pihak yang satu dengan pihak yang lain masih menyimpan ego yang tinggi. Harapannya, pada Pilkada mendatang, hal-hal semacam ini tidak terjadi lagi, karena masyarakat sangat dirugikan.
Alamsyah, Peneliti Wahid Foundation mengatakan bahwa sejatinya ketidaksukaan kelompok satu terhadap kelompok lain merupakan alamiah. Hal itu akan menjadi masalah besar jika ketidaksukaan justru direspon secara tidak sewajarnya alias berlebihan, apalagi ketika momen politik berlangsung. Lanjutnya, fenomena demikian sebenarnya juga terjadi di negara-negara lain, tidak hanya di Indonesia. Dan tidak heran lagi, pemicunya adalah media sosial yang kian liberal.
Oleh karena itu, untuk menyelesaikan perkara isu SARA, yang harus dilakukan masyarakat di antaranya; pertama, jangan mudah terpengaruh. Pendirian masyarakat kurang stabil, sehingga ketika terdapat isu maupun berita tentang segala hal, mereka percaya secara keseluruhan. Padahal banyak oknum yang secara berjamaah atau berkelompok telah membuat situs web atau semacamnya untuk menggiring masyarakat dengan pemberitaan yang dipoles sesuai yang diinginkan. Selama pendirian masyarakat tidak kuat, permasalahan serupa tidak akan pernah sirna.
Kedua, bersikap curiga terhadap konten berita. Sikap curiga dalam hal ini perlu ditekankan kepada setiap individu terhadap setiap informasi dan berita yang didapatkan. Mereka harus mampu memfilter setiap informasi yang mengandung unsur negatif dan penebar kebencian. Seringkali masyarakat tidak mau tahu terhadap muatan informasi, tetapi justru langsung share berita kepada orang lain, yang tentunya menyebabkan lingkaran setan penyulut isu-isu negatif semakin tidak terbendung.
Ketiga, berusaha untuk berkata hanya yang benar dan baik. Nabi Muhammad Saw telah mengajarkan kepada umatnya: “Bicaralah yang benar, atau lebih baik diam”. Pun di dalam al-Qur’an dan Hadits, tidak ada ajaran: “Berbicaralah sesukamu”. Panduan tersebut layaknya selalu ditanamkan dalam setiap jiwa dan raga, agar tidak terjadi permusuhan sesama saudara satu bangsa. Jika ada berita atau informasi yang kiranya dapat menyebabkan konflik, terutama yang bermuatan isu SARA, usahakan agar tidak dibagikan kepada orang lain, karena ini merupakan sebagian dari memberantas isu SARA yang dapat mengancam persatuan bangsa.
Selain beberapa upaya yang perlu dilakukan di atas, negara juga harus andil memberikan perhatiaan secara maksimal terhadap masalah yang ditimbulkan isu SARA, demi menjaga persatuan bangsa Indonesia. Selama ini negara belum fokus membahas isu SARA yang sangat massif di dalam masyarakat. Perlu ditekankan bahwa isu SARA adalah lumbung provokasi yang harus dibumihanguskan. Jika negara belum hadir untuk mengatasi hal itu, dan hanya memberantas provokasi yang sifatnya hanya sementara, dikhawatirkan permasalahan isu SARA semakin menggurita. Isu SARA adalah basis, sedangkan masalah provokasi adalah cabangnya. Dengan membumihanguskan isu SARA, secara langsung masalah provokasi yang ada di masyarakat akan hilang dengan sendirinya. Wallahu a’lam.