Zakat fitrah sejatinya merupakan kewajiban dalam agama. Melampaui keshalihan individu, terdapat pesan-pesan keadilan sosial dan keharmonisan. Ketika berzakat, seorang muzakki (orang yang berzakat) akan memberikan zakat fitrah kepada mustahiq (penerima zakat). Dalam anjuran agama, pemberian zakat dilakukan dengan cara yang santun. Bahkan, Islam menganjurkan bahwa pemberian yang terbaik harus dilakukan dengan cara yang terbaik, tanpa menyakiti hati pihak yang diberi.
Berzakat fitrah, meski esensinya adalah mengeluarkan zakat dan memberikan kepada penerima zakat, akan tetapi dilakukan tanpa merendahkan pihak penerima. Dalam hal ini, bukan berarti pihak yang berzakat lebih memiliki status sosial yang tinggi. Bukan berarti pula, pihak yang diberi zakat memiliki derajat yang lebih rendah. Sebaliknya, zakat fitrah diberikan dengan santun dengan mengedepankan nilai-nilai keadilan sosial. Sehingga, si miskin tidak merasa bahwa dirinya rendah. Bahkan, penerima zakat mendoakan kepada muzakki. Dalam posisi ini, terdapat hubungan yang saling melengkapi antara muzakki dengan mustahiq.
Zakat fitrah juga mengandung kesempatan bagi mustahiq untuk mendapatkan bahan pokok (baca: beras). Mustahiq bisa mendapatkan rasa aman dan nyaman, karena memiliki bahan makanan yang cukup, bahkan berlimpah. Mereka pun mampu menikmati beras berkualitas lebih baik. Keadilan sosial pun terwujud, di mana kesenjangan relatif berkurang. Bagi orang yang membutuhkan, zakat fitrah dari orang-orang yang lebih mampu dapat menjadi jembatan penyambung kasih sayang.
Momen istimewa kemesraan kasih sayang antara mustahiq dengan muzakki di antaranya terdapat dalam zakat fitrah. Saat itu, baik yang kaya atau yang miskin bersama-sama menjalankan ibadah kepada-Nya. Ada rasa saling terimakasih yang diucapkan. Sebab tanpa adanya mustahiq, zakat tidak akan tertunai. Pada dasarnya, hal ini akan membangkitkan kesadaran bahwa kekayaan bukan alasan untuk mempertajam jurang perbedaan dengan si miskin. Sebab, ada hak-hak kaum miskin yang ada dalam kepemilikan orang-orang yang mampu secara ekonomi.
Ketika kini ujaran kebencian banyak berkeliaran di media sosial, momentum berzakat membangun ruang kesadaran bahwa hubungan antar manusia bukanlah hubungan superior dan inferior, namun hubungan yang setara dan saling melengkapi. Adalah salah, jika kita mencari keburukan orang lain agar menjadi alasan bagi kita untuk memenangkan diri. Zakat fitrah mengandung pesan bahwa pemberian kita, seharusnya tidak membuat orang yang kita beri menjadi pihak yang kalah. Sebaliknya, keberadaan penerima zakat sangat bermanfaat, sehingga posisi mustahiq dan muzakki adalah win-win (menang-menang).
Zakat fitrah mengajarkan bahwa memberi kepada orang lain tidak bisa menjadi alasan kesombongan, sebab hakikatnya memang ada hak mustahiq dalam zakat fitrah. Zakat fitrah mengajak kita untuk bersikap harmonis, menghapus sekat-sekat kesenjangan sosial, dan membaurkan diri dengan seluruh manusia, tanpa memandang kondisi ekonomi dan status sosial.
Zakat fitrah mengingatkan kita bahwa kita harus jujur dan bersikap adil. Kita perlu meluangkan waktu untuk merangkul kaum miskin. Membantu mereka agar tidak didzalimi oleh kondisi miskin. Selepas berzakat, kita memiliki proyek besar, yaitu merangkul kaum papa. Islam, menjunjung tinggi keadilan sosial dengan mengedepankan prinsip-prinsip kemanusiaan. Bersedekah kepada mereka adalah kebaikan. Namun, jika belum bisa melakukan, setidaknya kita tak boleh memperlebar jarak sosial antara kaum papa yang merindukan uluran tangan. Berkasih sayang kepada kaum papa kita perlukan. Dan itu hanya bisa kita lakukan jika hati kita diliputi kasih sayang, dan bukan ujaran dan sikap kebencian. Wallahu’alam.