Idul Fitri sebagai Penguat Persaudaraan (Ber)kebangsaan

Idul Fitri sebagai Penguat Persaudaraan (Ber)kebangsaan

- in Narasi
1948
0
Idul Fitri sebagai Penguat Persaudaraan (Ber)kebangsaan

Maaf memaafkan merupakan ciri khas akhlak mahmuddah yang dilakukan umat Muslim saat ber-Idul Fitri. Di Indonesia, hari raya keagamaan ini justru menjadi hari yang sangat fenomenal, di mana hampir seluruh instansi diliburkan hingga lebih dari satu pekan. Hal ini dimaksudkan agar umat muslim bisa berleluasa dalam menyempurnakan ibadah kemanusiaan yang telah dituntunkan dalam agama.

Maaf memaafkan menjadi penting karena dalam setiap hembusan manusia selalu diliputi dengan bujuk rayu setan agar bebuat kejahatan terhadap orang lain. Jangankan kepada orang yang berbeda keyakinan atau suku, terhadap saudara seiman atau bahkan saudara kandung sendiri saja bisa berbuat tidak baik. Permusuhan bisa terjadi kapan saja, di mana saja, dan bahkan sebab apa saja. Semua itu bisa terjadi karena setan selalu membujuk manusia agar terpecah belah dan saling bermusuhan.

Nabi Muhammad SAW bersabda, “Sesungguhnya setan telah putus asa untuk disembah (kaum muslimin) yang sholat di Jazirah Arab, akan tetapi dia belum putus asa untuk memecah belah di antara mereka.” (HR. Muslim).

Terhadap upaya setan ini, Allah SWT memerintahkan agar umat manusia bersaudara dengan cara menjaga lisan. Di dalam al-Qur’an, Dia berfirman, “Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku, Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sungguh, setan itu (selalu) menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sungguh, setan adalah musuh yang nyata bagi manusia.” (QS. Al-Isra’ [17]: 53).

Sungguh, Allah SWT sendiri telah menciptakan manusia dalam beragam bentuk. Dan semua itu bukan berarti manusia harus bercerai berai. Bahkan, Nabi Muhammad SAW sendiri berpesan bahwa perbedaan merupakat rahmat. Dalam bayak keterangan, rahmat diartikan “ziyadatul khair (bertambahnya kebaikan)”. Sehingga, dengan adanya perbedaan diharapkan akan adanya kebaikan-kebaikan tambahan dibandingkan tanpa adanya perbedaan.

Agar perbedaan berdampak pada rahmat, maka ukhuwwah Islamiyyah (persaudaraan dalam bingkai Islam) dan meluas pada ukhuwwah wathaniyyah (persaudaraan sebangsa) serta ukhuwwah insaniyyah (persaudaraan sesama manusia) mesti dihidupkan.

Nabi Muhammad SAW merupakan teladan terbaik dalam membangun ukhuwwah Islamiyyah, ukhuwwah wathaniyyah, dan ukhuwwah insaniyyah. Ketika awal berhijrah ke Madinah, ia mampu mempersatukan kaum muhajirin dan anshar. Keduanya merupakan umat muslim yang awalnya tidak saling kenal. Namun, Nabi Muhammad SAW mampu menyatukan mereka sehingga bak satu tubuh yang manakala ada anggota tubuh satu terkena musibah maka anggota yang lain ikut merasakan.

Dalam ber-ukhuwwah wathaniyyah serta insaniyyah, Nabi Muhammad SAW mengajak pemeluk agam lain untuk saling menghormati. Bahkan, Nabi Muhammad SAW membuat “Piagam Madinah” dalam rangka menciptakan kerukunan antar-umat beragama di Madinah.

Bermula dari sinilah, sungguh kita sangat beruntung menjadi warga Indonesia, di mana nilai-nilai kerukunan menjadi modal utama dalam menjalani kehidupan. Para pendahulu bangsa telah mencontohkan bahwa perbedaan merupakan sunatullah yang mesti dihormati. Dan, perbedaan bukan alat untuk memecah belah setiap individu ataupun golongan. Para pendahulu telah menanamkan semboyan “bhineka tunggal ika”. Warisan luruh ini mesti kita lestarikan. Dan, tradisi Idul Fitri yang dimaknai membuka pintu maaf seluas-luasnya adalah salah satu wadah yang dapat kita manfaatkan untuk menguatkan persaudaraan dan persatuan.

Wallahu a’lam.

Facebook Comments