Yang Menang Merangkul, yang Kalah Mendukung

Yang Menang Merangkul, yang Kalah Mendukung

- in Narasi
2046
0
Yang Menang Merangkul, yang Kalah Mendukung

Pilkada serentak 2018 baru saja kita lalui. Masyarakat di pelbagai provinsi dan kabupaten kini bahkan telah memiliki gambaran tentang siapa yang bakal menjadi pemimpin mereka selama lima tahun ke depan. Meski belum ada pengumuman resmi dari KPU, namun hasil hitung cepat berbagai lembaga survei sudah bisa memberi gambaran tentang hasil tersebut. Sekarang, ketika masyarakat telah selesai memilih pemimpin daerah, serta gambaran pemimpin terpilih sudah ada, yang menjadi tugas kita bersama kemudian adalah melakukan rekonsiliasi kebangsaan.

Rekonsiliasi kebangsaan usai Pilkada serentak 2018 menjadi sangat penting karena, kita tahu, Pilkada serentak yang baru saja kita laksanakan beberapa waktu lalu tersebut melibatkan banyak daerah, dengan pelbagai variabel politik elektoralnya, sehingga menciptakan persaingan politik yang kuat dan bisa memberi dampak yang meluas dalam kehidupan masyarakat.

Ketika Pilkada usai dan pemimpin terpilih sudah ditetapkan, maka jelas akan ada pihak yang kecewa atas kekalahannya. Kekecewaan atas kekalahan pada dasarnya adalah hal yang wajar, namun akan menjadi persoalan ketika kekecewaan tersebut tidak dilebur, namun malah terus dikobarkan hingga menjadi sakit hati, kebencian, bahkan dendam terhadap lawan politik yang berlarut-larut. Sakit hati yang menjadi dendam dan kebencian akan menjadi kekuatan perusak yang bisa menulari siapa saja, bahkan masyarakat luas.

Seorang calon kepala daerah yang tak terima dengan kekalahannya, memendam sakit hati, kebencian, dan bahkan dendam, bukan tidak mungkin akan terus merongrong lawan politik yang terpilih menjadi pemimpin. Kebencian yang terus dipelihara bukan tak mungkin menggerakkan orang untuk balas dendam, sehingga terus-menerus melakukan hal-hal negatif yang mengganggu efektivitas jalannya program pemerintahan, hal yang akan kontraproduktif dan mengganggu pembangunan di masyarakat. Di samping itu, kebencian yang terus disimpan bisa menular ke kalangan pendukung, simpatisan, bahkan publik secara luas sehingga mengganggu keharmonisan dan kedamaian di tengah masyarakat.

Rekonsiliasi kebangsaan

Melihat betapa besar potensi kerusakan yang bisa diakibatkan dari kebencian dan dendam tersebut, maka jelas bahwa yang perlu dikedepankan usai gelaran Pilkada ini adalah membangun rekonsiliasi kebangsaan. Rekonsiliasi kebangsaan usai Pilkada serentak 2018 akan menjadi momentum untuk memulihkan persaudaraan kebangsaan setelah sebelumnya terbagi-bagi dalam pelbagai kubu dan kepentingan politik.

Rekonsiliasi kebangsaan berarti adanya kebesaran hati, kesadaran untuk membuka ruang komunikasi dan diplomasi antar anak bangsa usai berkompetisi, dengan dilandasi ikatan persaudaraan dan dorongan untuk sama-sama membangun bangsa menjadi lebih baik. Dalam konteks Pilkada, rekonsiliasi kebangsaan bisa dimaknai sebagai adanya upaya dari masing-masing calon kepala daerah, baik yang terpilih maupun yang tidak, untuk saling merangkul, kembali memulihkan dan menguatkan persaudaraan, serta mengesampingkan persaingan politik yang ada sebelumnya.

Rekonsiliasi kebangsaan harus tumbuh dari kesadaran kedua belah pihak atau lebih, yang sebelumnya bersaing. Rekonsiliasi akan sulit dibangun jika ada pihak-pihak yang masih enggan untuk bersatu. Dalam arti, kesadaran untuk memulihkan persaudaraan dan menciptakan perdamaian harus dilakukan oleh dua belah pihak, baik yang menang maupun yang kalah.

Bagi calon yang terpilih atau menang, semangat rekonsiliasi kebangsaan bisa diwujudkan dalam bentuk “merangkul” calon yang kalah atau yang sebelumnya menjadi lawan politiknya. “Merangkul” di sini tak sekadar merangkul dalam arti bersalaman atau berpelukan semata. Lebih jauh, merangkul artinya adanya niat baik untuk kembali mengajak pihak yang kalah, dan semua pendukungnya, untuk bersama-sama membangun daerah atau bangsanya.

Hal tersebut bisa dilakukan, misalnya, dalam bentuk kebesaran hati untuk turut mendengarkan dan mengakomodir pelbagai ide, gagasan, atau visi-misi dari calon yang lain, yang dinilai positif untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat luas. Keterbukaan atas perbagai masukan, kritik, dan saran dari calon lain yang tidak terpilih menjadi ukuran sejauh mana seorang pemimpin memiliki semangat rekonsiliasi kebangsaan. Hal ini didasari kesadaran bahwa tidak ada program yang benar-benar sempurna, sehingga diperlukan adanya kerjasama, kolaborasi, dan kemauan untuk mendengar pendapat-pendapat lain.

Sedangkan bagi calon yang tidak terpilih, semangat rekonsiliasi kebangsaan bisa diwujudkan dengan, pertama-tama kebesaran hati menerima kekalahan. Kemudian, adanya keterbukaan untuk membantu dan mendukung calon terpilih. Tidak ada yang salah jika memilih konsisten menjadi oposisi, justru itu menjadi penyeimbang yang dibutuhkan untuk mengontrol jalannya sebuah pemerintahan. Namun, menjadi oposisi harus tetap beradab, mengkritik dengan cara-cara yang etis, benar-benar didasari niat baik untuk mengawal program pemerintahan demi kepentingan masyarakat luas, bukan atas dasar kebencian dan balas dendam.

Jika calon yang terpilih mau merangkul dan mendengarkan pendapat atau program calon yang lain, kemudian calon yang tidak terpilih terbuka untuk membantu dan mendukung calon terpilih, akan terjadi suasana yang harmonis, rukun, dan damai di kalangan elite daerah. Imbasnya, suasana kerukunan tersebut akan menular sehingga menciptakan keharmonisan dan kedamaian di kalangan masyarakat luas.

Facebook Comments