Umat Islam sejagad memperingati tahun baru 1 Muharram 1440 H yang bertepatan dengan tanggal 11 September 2018 M. Selain itu dalam kultur Jawa hari tersebut dikenal pula sebagai tahun baru 1 Suro. Tahun baru Hijriyah selalu menjadi momentum refleksi dalam berbagai aspek kehidupan. Rujukan refleksi paling populer adalah peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah.
Tahun baru Hijriyah kali ini dalam konteks ke-Indonesiaan bertepatan dengan tahun politik menjelang Pemilu 2019. Spirit dan nilai hijrah penting direfleksikan dan diaktualisasikan dalam konteks penyelenggaraan kontestasi demokrasi. Salah satunya dalam upaya deradikalisasi politik demi terciptanya pemilu yang berkedamaian.
Semua pihak mesti berkomitmen menghadirkan Pemilu 2019 yang damai. Untuk itu upaya deradikalisasi politik mesti dioptimalkan. Mitigasi kerawanan konflik politik mesti dilakukan secara optimal.
Kerawanan Konflik
Tahun 2018 merupakan tahun politik bagi Indonesia. Hajatan demokrasi Pemilu 2019 diprediksi akan rawan konflik. Ruang kompetisi diprediksi semakin bersifat lokal dan sangat terbuka. Kompetisi tidak sekadar antar parpol, tetapi antar caleg dalam satu parpol pun bisa saling jegal. Gesekan horisontal yang berpotensi konflik menjadi tantangan yang perlu diantisipasi dan ditangani.
Scannell (2010) memaparkan bahwa konflik adalah suatu hal alami dan normal yang timbul karena perbedaan persepsi, tujuan atau nilai dalam sekelompok individu. Konflik berjalan mulai dari tahap diskusi. Jika masing-masing pihak mau menang sendiri, maka proses berlanjut ketahap polarisasi. Perkembangan selanjutnya jika tidak ada lagi obyektivitas, maka konflik memasuki tahap segregasi (saling menjauh, putus komunikasi). Terakhir dan paling berbahaya jika segregasi tidak bisa ditangani secara baik, maka konflik memasuki tahap destruktif.
Kerawanan konflik pertama kali penting diamati berdasarkan peta spasial basis parpol dan sebaran caleg. Ruang geografis sifatnya statis dan konstan, sedangkan pelaku dan aktifitas politik yang mewarnai sangat dinamis dan tidak sedikit jumlahnya. Ruang tertutup tersebut menjadi medan kompetisi politik yang niscaya menghadirkan singgungan dan overlapping antar kontestan.
Ribuan caleg ditambah, kader partai serta tim sukses caleg merupakan komponen yang rawan terlibat konflik. Hal ini disebabkan oleh interaksi di antara mereka yang bermotivasi sama yaitu mencari kemenangan. Konflik dapat terjadi intra maupun antar parpol.
Domisili caleg dan target lumbung suara umumnya terkonsentrasi di wilayah berpenduduk besar. Tantangan bagi partai politik adalah menyebar konsentrasi aktifitas politiknya dengan mengandalkan basis kader bukan caleg semata. Implikasi dari sistem suara terbanyak telah mendorong upaya caleg untuk terjun hingga pintu ke pintu. Gesekan muncul antar tim sukses hingga antar warga masyarakat yang menjadi sasarannya.
Elemen partai politik, baik pengurus, kader, maupun caleg merupakan garda terdepan dalam perjuangan politik di Pemilu 2019. Kerawanan dapat diantisipasi dengan memahami peta jaringan dan pergerakan yang meraka lakukan. Semakin rinci informasi yang dimiliki akan semakin memudahkan upaya antisipasi sekaligus resolusi jika konflik terjadi.
TNI telah memetakan provinsi dan kabupaten/kota mana masuk kategori rawan dalam Pilkada 2018 dan Pemilu 2019. Provinsi Papua adalah yang paling rawan dengan indeks kerawanan pemilu 3,41. Peringkat kedua, yakni Maluku dengan indeks kerawanan pemilu 3,26. Peringkat ketiga, yakni Kalimantan Barat dengan indeks kerawanan pemilu 3,04.
Strategi Deradikalisasi
Gesekan di lapangan adalah keniscayaan, tetapi tidak semestinya melebar menjadi konflik destruktif. Hal ini menuntut dilakukannya manajemen dalam rangka mengatasi atau resolusi konflik hingga tercipta perdamaian.
Setiap pihak memiliki tanggung jawab dalam menghadirkan Pemilu 2019 yang aman dan damai. Pertama, parpol, capres dan caleg. Parpol, capres dan caleg harus mampu mengendalikan kader dan tim suksesnya. Satu hal tidak dibenarkan adalah klaim suatu kawasan menjadi daerah kekuasaan parpol, capres atau caleg tertentu. Parpol harus dapat melakukan manajemen konflik secara arif bukan justru memancing dan memperbesar gesekan. Komunikasi antar elit parpol, capres dan caleg mesti dibangun secara intensif atas dasar kekeluargaan.
Kedua, penyelenggara pemilu. Penyelenggara pemilu harus mengantisipasi konflik dengan bekerja secara adil. Penting bagi KPU untuk mengatur jadwal kampanye mempertimbangkan peta kerawanan di atas. Bawaslu juga mesti jeli mengawasi pelanggaran. Penindakan harus berkeadilan dan memprioritaskan solusi permusyawaratan.
Ketiga, aparat pemerintah dan tokoh. Aparat pemerintah hingga tingkat terendah seperti Ketua RT/RW harus mampu mempelopori penciptaan suasana kondisif di setiap wilayahnya. Pendidikan politik warga wajib diprogramkan. Perangkat pemerintahan tidak dibenarkan menunjukkan keberpihakan politik. Tokoh masyarakat dan agama juga dapat berperan strategis melalui pendekatan budaya dan spritual.
Keempat, aparat keamanan. Kepolisian setelah mengetahui peta secara spasial, penting mengidentifikasi potensi sumber dan latar belakang konflik hingga ke akar-akarnya. Selama ini pendekatan antisipasi dilakukan melalui Intelejen dan Babinkantibmas. Intelejen untuk memantau perkembangan konflik dan Babinkantibmas untuk komunikasi sosial berbasis kearifan lokal. Semua faktor konflik akan mudah tersulut di tahun politik ini. Aparat keamanan penting menggandeng parpol, penyelengggara pemilu, pemerintah, tokoh, dan semua elemen untuk upaya antisipasi konflik politik.
Hijrah Nabi mengajarkan secara substansial pentingnya meninggalkan suasana penuh konflik menuju kondisi yang damai. Muhammad SAW meninggalkan Mekkah yang kala itu sering terjadi konflik hingga dirinya kerap dimusuhi menuju Madinah yang nyaman, aman, dan damai.
Kompetisi pemilu hendaknya dilaksanakan secara ksatria dengan menjunjung kejujuran dan sikap siap kalah menang. Semoga dengan kesadaran dan komitmen semua pihak, Pemilu 2019 akan berlangsung secara damai dan berkualitas.