Ada sekitar 28 kata hijrah dalam Al Quran, yang memiliki berbagai pesan moral di dalamnya. Selain itu beberapa hadist pun menyebutkan, salah satunya dalam pasal satu kitab Arbain Nawawi. Pada pasal satu dijelaskan bahwa segala sesuatu itu tergantung niatnya, barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan RasulNya maka ia akan memperoleh keridhoaan itu, barangsiapa yang hijrahnya karena sebatas duniawi maka ia hanya mendapatkan aspek keduniawian semata.
Segala sesuatu tergantung niatnya. Niat menjadi hal mendasar dalam melakukan pekerjaan. Bagaimana bisa pekerjaan itu berjalan dengan baik, jika niatnya tidak ditata dengan baik. Selain itu, bagaimana bisa memperoleh kegairahan, jika niat saja tak dimiliki.
Niat bukan sekedar ucapan primordial semata. Niat memiliki makna yang mendasar dan mengakar. Niat mampu membangun komitmen dan konsistensi.
Niat ini perlu dipahami oleh generasi muda zaman now. Sebelum melakukan sesuatu atau perubahan, niat perlu segera ditata. Niat baik untuk laku baik. Seperti halnya niat baik untuk hijrah yang lebih baik.
Oke, selanjutnya, apa sih makna hijrah bagi generasi zaman now? Secara umum, hijrah dapat diartikan suatu proses perpindahan dari suatu wilayah ke wilayah lain. Hijrah juga bisa diartikan sebagai upaya perubahan diri menjadi manusia yang lebih baik.
Upaya perubahan diri menjadi manusia yang lebih baik ini penting untuk ditemukan formulanya. Sehingga hijrah tidak hanya dimaknai secara tekstual sebagai perpindahan teritorial, sebagaimana Nabi berpindah dari Mekah ke Madinah.
Banyak hal bisa dilakukan guna menjadi manusia yang lebih baik, tidak hanya hijrah secara simbolik, seperti halnya yang dilakukan selebriti. Di mana mereka, para selibriti hanya memaknai hijrah dengan mengubah gaya busana. Awalnya tidak berhijab, akhirnya menggunakan hijab.
Hijrah ala selibriti ini bukanlah model hijrah idela zaman now. Karena zaman now lebih dikenalkan dengan keterbukaan wawasan untuk memandang dunia lebih luas. Sehingga, zaman now ini mampu membaca zaman dan mengambil peran untuk menebar manfaat kepada masyarakat.
Jika mengacu pada laporan pelanggaran atas kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, Setara Institut melaporkan bahwa pelanggaran itu kerap terjadi dan ada peningkatan dari tahun ke tahunnya. Ada sekitar 87 kasus tahun 2015 dan 97 kasus tahun 2016. Peningkatan itu cukup signifikan.
Selain itu di tahun tahun sebelumnya juga kerap terjadi kekacauan di dunia maya. Akhir 2016, INFID menemukan kata kunci tersering muncul di media sosial di antaranya adalah kafir, khilafah dan toghut. 2017, terungkap pula kejahatan cyber crime yang dilakukan Saracen dan Muslim Cyber Army (MCA).
Dari runtutan kasus di atas, kita sedang dihadapkan dengan polemik kebangsaan. Atas dasar itulah, perlu adanya nalar kritis dan kemelekan literasi kebangsaan. Sehingga, pelanggaran kemanusiaan dapat dikurangi bahkan dihilangkan. Agar tercipta Indonesia damai.
Generasi muda harus perlaku kritis terhadap kondisi sosial. Nalar kritis itulah wujud dari kemelekan literasi. Melek akan perubahan zaman dan perkembangan kebudayaan bangsa.
Melek literasi kebudayan ini menjadi jawaban penting di tengah isu kebangsaan yang semakin carut marut. Sehingga, dengan kemelekan literasi ini, generasi muda mampu hijrah dari ketidaktahuan jati diri bangsa menuju katahuan dan rasa memiliki akan bangsa ini. Dengan hal itu, akan membangun jati diri bangsa yang mencintai bangsa dengan segala kreativitas anak muda, dengan niat, komitmen dan konsistensi.