Dunia internet menjadikan segenap manusia mudah memperoleh informasi, termasuk iformasi keagamaan. Tinggal mengetik kata kunci, hampir semua yang dibutuhkan disajikan oleh internet. Memang fenomena semacam ini memiliki dua sisi sekaligus, yakni positif dan negatif. Bagi orang yang sudah memliki basic agama kuat, internet sangat bermanfaat bagi dirinya, terutama mematangkan dan menajamkan pengetahuan keagamaannya. Orang semacam ini bisa memilih dan memiliah materi yang betebaran di internet.
Beda halnya dengan orang yang baru atau tidak memiliki basic ilmu agama yang kuat, internet justru akan mudah menunjukkan kepadanya jalan yang “sesat”. Hal ini disebabkan oleh banyaknya materi “sampah” yang diproduksi oleh orang-orang yang sama-sama tak mempunyai kualifikasi sebagai orang yang mampu dan dapat dipercaya menyampaikan materi keagamaan.
Dalam kondisi seperti saat ini, misalnya, key word ‘hijrah’ merupakan kata kunci yang sering dicari oleh masyarakat dalam mesin pencarian google. Hal ini tak terlepas dari momentum. Ya. Momentum tahun baru hijriyah.
Berangkat dari sini pula, ulasan ini tercipta guna sebagai ikhtiar untuk terlibat aktif dalam rangka turut mencerdaskan dan bahkan meluruskan makna hijrah, yang sering kali didistorsi sebagai keadaan berubah atau berpindah saja.
Ibnu Mandzur dalam maqnum opusnya Lisan al-‘Arab juz 5 memeberikan arti kata hirjah dengan al-Khuruj min al-Ard, berpindah ke suatu tempat ke tempat lain. Kemudian dalam Alquran, hijrah dijelaskan sebagai keluar yang memiliki tujuan untuk menyelamatkan diri dari orang dzolim. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam QS. Alqashas ayat 21. Ayat ini konteksnya terjadi pada diri Nabi Musa, di mana ketika itu Nabi Musa keluar dari kekejaman Fir’aun dan pembesar-pembesar kerajannya, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya.
Kontekstualisasi Hijrah
Dalam Alquran, makna hijrah memiliki arti bervariasi. Pembahasan hjirah dalam Alquran dapat ditemukan dalam 17 surat yang berjumlah 31 ayat. Nah dalam hal ini, penulis hendak menguak makna hijrah sebagaimana yang terdapat dalam Alquran untuk kemudian dikontekstualisakan dalam kondisi kekinian dan kedisinian.
Secara praktis, dapat dikatakan bahwa hijrah itu pada dasarnya mencakup tiga hal; (1) sesuatu yang harus dihindarkan, (2) sesagala seuatu yang harus ditegakkan, dan (3) segala sesuatu yang harus dijalankan secara konsisten dan tidak keluar dari batas-batas yang telah ditentukan.
Dengan demikian dapat ditegaskan pula bahwa hijrah adalah suatu usaha serius dan dengan penuh kesadaran untuk menjauhkan diri dari berbagai bentuk penyimpangan dan segala yang negatif menuju tata aturan yang benar dan konsisten.
Dari paparan di atas juga dapat ditarik sebuah pemahaman bahwa hijrah itu mengandung beberapa makna. Pertama, membangun peradaban. Inilah spirit utama hijrah Nabi yang harus terus dijadikan pedoman bagi umat Islam. Salah satu wujud pembanguna peradaban yang dilakukan oleh Nabi Muhammad di Madinah kala itu adalah menyatukan seluruh eleman masyarakat Madinah dalam suatu kesepakatan tertentu. Dalam kesepakatan tersebut muncul nilai-nilai universal seperti persaudaraan, perdamaian, toleransi, dan lain sebagainya.
Kedua, mengalahkan watak primordialisme. Watak primordialisme akan selalu bersemanyam dalam diri setiap insan, ini sifat alamiah. Kita tidak bisa menghindari watak tersebut, namun kita bisa mengalahkannya. Dalam artian menekan dan menjinakkan watak tersebut agar tak doniman.
Hijrah yang identik dengan perpindahan harus diartikan secara bijak sana. Misalnya dalam konteks kebangsaan, hijrah bisa dimaknai sebagai upaya serius mengalahkan watak primordialisme yang berlebihan. Dan inilah yang ditunjukkan oleh masyarakat Anshar dan Muhajirin serta suku-suku lain yang menghuni Madinah kala itu.
Ketiga, kontekstualisasi makna dan praktik jihad. Ibnu Arabi sebagaimana dikutip oleh para pemikir Islam, mengungkapkan beberapa faktor seorang melakukan (pergi) hijrah. Diantara faktor tersebut adalah untuk jihad. Faktor ini sebenarnya juga disebutkan dalam Alquran QS al-Anfal ayat 74.
Makna dan konteks jihad inilah yang seringkali diartikan secara tekstualis. Bisa dibayangkan, jika orang Islam di Indonesia mempraktikkan jihad sebagai mana yang dilakukan oleh Nabi ketika itu (perang dengan mengangkat pedang), pastinya yang terjadi malah kekacauan. Betapa tidak. Indonesia adalah negeri damai, sehingga jihad mengangkat pedang sudah tak relevan lagi. Oleh sebab itu, jihad harus dimaknai dalam konteks kekinian dan kedisinian; seperti jihad melawan kebodohan, kemiskinan, dan korupsi.
Jadi, setidaknya dari tiga makna sebagaimana yang telah diuraikan di atas itulah hijrah yang dirindukan saat ini. Terutama dalam konteks kebangsaan, hijrah yang dirindukan itu adalah mengalahkan watak primordialisme, membangun umat dan bangsa, dan membangun persautuan di atas perbedaan.