Pancasila dan Revolusi Mental Bangsa

Pancasila dan Revolusi Mental Bangsa

- in Narasi
1965
0
Pancasila dan Revolusi Mental Bangsa

Polisi akhirnya meringkus Ratna Sarumpaet di Bandara Soekarno-Hatta saat akan pergi ke luar negeri. Hal ini adalah buntut dari kebohongan Ratna yang sempat membuat publik Indonesia heboh. Bahwa sebelumnya, ia mengaku dikeroyok orang tak dikenal setelah mendatangi pertemuan Internasional pada 21 September lalu, hingga membuat wajahnya babak belur. Namun, belakangan, ia mengaku bahwa berita itu hanyalah rekayasa. Keadaan sebenarnya adalah, ia tengah melakukan operasi plastik.

Sekalipun Ratna telah meminta maaf kepada publik, tapi laku tercelanya tidak bisa ditolerir. Ia telah melakukan kebohongan publik, dan tentu banyak orang yang awalnya bersimpati dengannya merasa ditipu.

Setidaknya, ada dua hal yang perlu digaris bawahi. Pertama, Ratna sebagai public figure –dalam arti dikenal masyarakat luas- tidak semestinya membuat sensasi yang sensitif. Terlebih, sikap politiknya sebagai oposisi pemerintah, sehingga apapun yang berkaitan dengannya selalu dikaitkan dengan kontestasi politik. Termasuk kebohongannya bahwa dirinya dianiaya, barangkali publik langsung menyimpulkan bahwa pelaku penganiayaan adalah lawan politiknya.

Kedua, masyarakat yang tidak jeli. Bahwa kebohongan Ratna boleh jadi dengan mudah dipercaya masyarakat karena momentum politik. Dari fenomena ini kita setidaknya bisa belajar, bahwa berita hoaks bisa datang kapan saja, dan sumber berita, sekalipun berasal dari kalangan elit-politisi, tidak serta merta menjadi jaminan bahwa informasi yang disampaikan merupakan sebuah kebenaran. Masyarakat dituntut aktif untuk mencari validitas sebuah informasi, dan tidak terbawa emosi untuk membela atau sebaliknya terhadap seseorang. Dalam merespon informasi, tak ada salahnya kita menggunakan rumus “saring dulu sebelum sharing”.

Lebih lanjut, kelakukan tokoh nasional ini mengindikasikan bahwa dalam tubuh bangsa tengah terjadi degradasi moral. Moral-moral ksatria yang diharapkan ada dalam diri setiap warga negara, terlebih mereka yang duduk di singgasana negara, kian hari kian luntur, terlebih ketika kepentingan politik praktis jadi panglima, sementara metode untuk mencapainya tak terlalu dipikirkan.

Maka dari itu, di samping kita terus berupaya mengejar ketertinggalan Indonesia dari negara dunia, juga perlu menengok sebentar ke belakang. Bahwa semenjak Jokowi terpilih sebagai presiden, ia sudah mencanangkan gerakan revolusi mental, sebuah istilah yang dikenalkan pertama kali oleh Bung Karno. Gerakan revolusi mental ini amat relevan bagi bangsa Indonesia saat ini lantaran adanya tiga problem bangsa, yaitu merosotnya wibawa negara, merebaknya intoleransi, dan melemahnya sendi-sendi ekonomi nasional. (kominfo.go.id)

Spirit Pancasila dalam Revolusi Mental

Pancasila telah baik sejak dalam pikiran, tapi belum dalam perbuatan. Sebenarnya, gerakan revolusi mental telah memiliki asasnya, yakni Pancasila. Bahwa untuk menyelesaikan ketiga problem bangsa yang urgen, kita mesti mengacu kepada Pancasila. Problem merosotnya wibawa negara mesti diperbaiki dengan jalan internalisasi Pancasila pada setiap diri warga negara, khususnya abdi negara yang diamanahi menjaga NKRI. Para pejabat pemerintahan, baik lokal, daerah, maupun nasional, mesti mampu memberikan teladan kepada warga negara, dengan mengamalkan nilai-nilai Pancasila. Apa yang dilakukan Ratna Sarumpaet sama sekali tidak mencerminkan jiwa-jiwa Pancasila, sehingga tidak patut untuk dipertontonkan ke publik –hanya tepat dipertontonkan dalam teater drama.

Sedangkan untuk mengurai intoleransi yang kian menguat di Indonesia, mesti juga merujuk ke Pancasila. Tidak selamanya dalam memahami Pancasila hanya mengandalkan akal (yang berpikiran cupet), melainkan juga melibatkan rasa dengan jalan permenungan. Renungkan dan resapilah sila-sila Pancasila, adakah yang bertentangan dengan semangat ketuhanan dan kemanusiaan?

Begitu juga untuk memperkuat perekonomian nasional, mestinya pemerintah siap siaga untuk mengulurkan tangannya kepada para petani dan pelaku usaha, terutama mereka yang membutuhkan pinjaman modal. Dengan begitu, pondasi ekonomi di akar-rumput bisa kuat, dan secara otomatis juga bisa memperkuat perekonomian nasional.

Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, sebenarnya telah ‘melindungi’ segenap warga negara dari kesewenang-wenangan individu, kelompok, bahkan negara itu sendiri. Maka dari itu, internalisasi Pancasila menjadi urgen, lalu pengejawantahannya bisa dilakukan di berbagai aspek kehidupan, baik itu politik, kehidupan sosial-keagamaan, maupun ekonomi.

Facebook Comments