Semua Saudara, Saudara Semua

Semua Saudara, Saudara Semua

- in Faktual, Narasi
1451
0
Semua Saudara, Saudara Semua

Pada masa-masa lalu, pembauran manusia satu identitas dengan identitas lain masih terbatas. Keterbatasan karena aspek gerak dan akses sarana. Karena itu, kemenyatuan antarsuku etnis, dan ras belum tampak sempurna. Masing-masing identitas primordial tidak jarang menghadirkan superioritas. Puncaknya bisa dilihat kala menyeruak dikotomi Barat dan Timur. Peradaban Barat dengan segala tipikal kemajuan pengetahuan sementara peradaban Timur sebagai objek penderita dengan stigma keterbelakangan.

Imbasnya, dikotomi Barat dan Timur menciptakan jurang pembeda yang sering berujung pada interpretasi berlebihan nan absurd. Dampak paling terasa, hubungan manusia Barat dan manusia timur –sebagai sesama penghuni Bumi- terus merenggang dan menahbiskan suasana permusuhan sembari membawa jarak lebar. Padahal, bila ditilik mendalam, pendikotomian tersebut mengada-ada dan ahistoris.

Barat dan Timur merupakan pendefinisian yang kian kabur. Berpotensi menguarkan hasrat saling curiga satu sama lain. Benturan peradaban di antara keduanya senyatanya merupakan mitos dengan tujuan semakin menenggelamkan manusia dalam kecamuk konflik dan merenggangkan kesatuan persaudaraan. Jurang masa lalu berupa dikotomi Barat-Timur harus kita mampatkan bersama demi pemuliaan dan kesederajatan manusia.

Siapakah Barat itu? bila terimajinasikan kumpulan negara Eropa plus Amerika Serikat, toh nyatanya mereka bukan satu entitas. Di dalamnya, terdiri banyak suku yang berbeda bahasa dan adat. Begitu pun Timur, nyatanya tidak bisa dipahami sebagai kesatuan etnis, bahasa, dan agama. Timur tidak identik Islam. Karena Kristen, Yahudi, Buddha dan Hindu bermuasal dari Timur. Karena itu, baik Barat maupun Timur masing-masing mempunyai bermacam-macam identitas yang tidak bisa dikatakan sebagai kemanunggalan untuk kemudian dihadap-hadapkan.

Baca juga :Teologi Kebencanaan dan Solidaritas Kemanusiaan

Sejarah komunitas manusia lintas etnis dan ras selama berpuluh-ratus abad lampau. Upaya saling belajar dan merajut koneksi lintas peradaban sudah tercipta; sehingga bisa dijadikan tamsil menihilkan superioritas. Dalam fase peradaban Arab, tidak bisa terdaku sebagai murni hasil keringat sendiri tanpa campur tangan peradaban sebelumnya. Terbabar dalam sejarah manakala Khalifah Harun al-Rasyid mengeluarkan kebijakan berupa penerjemahan secara besar-besaran terhadap karya-karya filsuf Yunani dan Romawi.

Kegiatan berikutnya adalah mengembangkan dan menjadikan suatu disiplin ilmu pengetahuan yang lebih tersistem. Dari peradaban Arab-lah, lantas peradaban-peradaban selanjutnya mengambilnya dan mengembangkannya lagi. Setiap peradaban sejatinya mengambil sedikit-banyak dari peradaban lain. Karena itu, semestinya pula, setiap peradaban atau personal manusia tidak sepantasnya merasa jumawa paling maju-berpengetahuan yang kemudian berujung melakukan keculasan dan kolonialisasi terhadap manusia lain.

Apalagi, seiring kemajuan teknologi-komunikasi, perwujudan persaudaraan lintas batas negara dan bahkan antarbenua nyatanya semakin mudah direngkuh. Kecanggihan zaman hari ini secara langsung telah mengubur batasan tempat untuk kemudian menyempitkan jarak dan mengeratkan interaksi antarsesama. Termasuk pula pelajar Amerika berbondong-bondong menimba ilmu di banyak universitas di Asia. Perempuan Indonesia menikah dengan lelaki Perancis, misal, setali tiga uang dengan rumusan menjalin koneksi dalam diktum saling belajar dan menghargai antarkebudayaan.

Pada hari ini, rajutan persaudaraan universal macam itu secara positif telah membentuk prinsip-prinsip asasi kemanusiaan; di mana satu dengan yang lain saling menguatkan. Seperti halnya pada kesatuan sikap dan suara umat manusia dalam mengecam aneka peperangan. Mereka juga menibakan keibaan dan keprihatinan bersama pada laku penindasan dan genosida; serta berupaya bersama pula memijak langkah mengurangi pemanasan global dan menentang senjata nuklir.

Pada konteks sebagai bangsa Indonesia, rajutan persaudaran mesti menjadi pendulum gerak utama. Sama persis narasi di atas, masyarakat Indonesia merupakan kumpulan dari aneka suku, etnis, dan beragam agama dan kepercayaan. Masing-masing identitas kesukuan mempunyai sebentuk keunggulan (kearifan lokal) sebagai khazanah kekayaan bangsa untuk kemudian bisa saling jumpa dalam rupa asimilasi dan akulturasi. Karena itu, tidak benar bila menganggap sukunya terkata paling maju.

Memilin persaudaraan sebangsa-setanah air sudah banyak dilakukan. Ikhtiar itu bisa dilihat kala pernikahan lintas suku di Indonesia makin sering ditemui. Suku Jawa menikah dengan suku Dayak. Warna-warni masyarakat Indonesia seyogianya menjadi kesadaran kolektif kita bersama untuk merawat aset besar ini dari ancaman perpecahan. Para bijak bestari telah memberikan resep mujarab mewujudkan kelanggengan ikatan persaudaraan. Tak ada cara lain selain lebih banyak melihat hamparan persamaan ketimbang mencari-cari titik perbedaan. Wallahu a’lam

Facebook Comments