Penghujung tahun 2018 ini diwarnai duka mendalam. Gelombang tinggi yang diduga kuat sebagai tsunami menerjang Selat Sunda di wilayah Banten dan Lampung. Data BNPB hingga selasa (25/12) menyebutkan 429 orang meninggal, 1.485 orang luka-luka, 154 orang hilang, dan 16.082 orang mengungsi. Selain itu, 882 rumah rusak, 73 penginapan rusak dan 60 warung rusak. 434 perahu dan kapal rusak, 24 kendaraan roda 4 rusak, 41 kendaraan roda 2 rusak, 1 dermaga rusak, dan 1shelterrusak.
BNPB memutuskan tanggap darurat di Banten, khususnya Kabupaten Pandeglang selama 14 hari terhitung tanggal 22 Desember-4 Januari 2019. Di Lampung Selatan 7 hari, yaitu 23-29 Desember 2018. Status Tsunami Selat Sunda juga ditetapkan menjadi bencana kabupaten.
Bencana di akhir tahun ini menuntut adanya upaya tanggap darurat segera dan peta jalan mitigasi yang komprehensif. Selain itu juga menuntun manusia untuk merenunginya secara kontemplatif. Salah satunya dari perspektif teologi dan/atau filantropi (kemanusiaan).
Teologi Bencana
Setiap agama memiliki konsep teologi bencana. Tidak terkecuali Islam. Paling tidak ada tiga hal yang sering diajukan untuk mencari penyebab terjadinya bencana alam menurut Islam. Pertama, azab dari Allah karena banyak dosa yang dilakukan. “Jika Kami menghendaki menghancurkan suatu negeri, Kami perintahkan orang-orang yang hidup mewah (berkedudukan untuk taat kepada Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan daiam negeri tersebut, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya,”(Al-Isra'[17]: 16).
Kedua, sebagai ujian dari Tuhan. “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka akan dibiarkan begitu saja mengatakan: Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diujilagi?”( Al-Ankabut [29:2).
Baca juga :Mengaplikasikan Agama sebagai Sumber Perdamaian dan Menguatkan Solidaritas Kemanusiaan
Ketiga, Sunnatullah dalam arti gejala alam atau hukum alam yang biasa terjadi.“Dan kamu lihat gunung-gunung itu kamu sangka dia tetap di tempatnya, padahal gunung-gunung itu bergerak sebagaimana awanbergerak.(Begitulah) perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh segala sesuatu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.( QS. Al-Naml [27]: 88).
Hal yang mesti hati-hati adalah penyampaian ketiga aspek di atas, khususnya kepada korban. Ketiganya penting sebagai bahan renungan bersama dengan tanpa ada tindakan saling menuding.
Cara pandang manusia beragama terhadap bencana. Pertama, cara pandang orang-orang beriman kepada Allah dan para Rasul-Nya. Semua peristiwa alam yang terjadi dikembalikan kepada kehendak dan kekusaan Allah. Mereka hadapi dengan hati yang penuh iman, tawakakal, sabar dan tabah sert amereka lihat sebagai sebuah ujian dan musibah untuk menguji kualitas keimanan dan kesabaran mereka, atau bisa juga sebagai teguran Allah atas kelalaian dan dosa yang mereka lakukan.
Selain itu, bencana juga dijadikan sebagai momentum terbaik untuk mengoreksi diri atau taubat agar lebih dekat kepada Allah dan sistem Allah dan Rasul-Nya. Pada saat yang sama merekapun meninggalkan larangan-larangan Allah dan Rasul-Nya.
Kedua, cara pandang orang-orang kafir dan ingkar pada Allah dan Rasul-Nya. Cara pandang orang-orang yang sombong pada Allah dan tidak mengenal Tuhan Pencipta alam yang sebenarnya. Orang-orang ini tidak mampu melihat kaitan antara Tuhan dengan hamba, antara agama dengan kehidupan dan antara dunia dan akhirat.
Manusia semacam ini tidak pernah mau dan tidak mampu menjadikan berbagai bencana sebagai pelajaran dan sebagai bukti kekuasaan dan kebesaran Allah. Mereka bukannya mengoreksi diri dan kembali kepada Allah, melaikan semakin bertambah kesombongan dan pembangkangan mereka pada Allah dan Rasul-Nya.
Agenda Kemanusiaan
Sasaran program kemanusiaan tidak mengenal agama. Semua agama juga dipastikan memiliki perhatian dan mengajarkan kepedulian melalui agenda kemanusiaan. Untuk itu tidak ada salahnya bahkan akan lebih optimal jika antar komponen agama dan lainnya bergandengan tangan menunjukkan kebersamaan dalam solidaritas. Antar relawan berbasis agama penting tidak saling curiga. Dan konsekuensinya memang tidak ada upaya memanfaatkan bencana sebagai ajang mengganggu keyakinan korban.
Korban terdampak membutuhkan murni uluran tangan kemanusiaan. Konsep keikhlasan penting dikedepankan dari para relawan. Apapun tanggapan dan tindakan warga terdampak pascapelaksanaan agenda kemanusiaan biarlah terjadi secara alamiah dan mesti dihormati.
Indonesia sebagai bagian ring of fire dan negara tropis memiliki kerawanan banyak jenis bencana. Bencana selalu datang silih berganti jenis dan lokasinya. Untuk itu kemanusiaan mesti menjadi agenda tetap dan berkelanjutan. Bukan sekadar program insidentil dan spontanitas. Kemanusiaan merupakan bagian muamalah yang membuka lebar sinergi lintas keyakinan. Koordinasi dan komunikasi rutin mesti dijaga dan dilakukan guna menguatkan solidaritas sekaligus mengikis kecurigaan. Pemerintah, ororitas keagamaan, dan ormas mesti menjadi garda terdepan dan memfasilitasi agenda solidaritas kemanusiaan ini.