Debat Itu Mendamaikan, Bukan Memecah Belah!

Debat Itu Mendamaikan, Bukan Memecah Belah!

- in Narasi
1199
1
Debat Itu Mendamaikan, Bukan Memecah Belah!

Di zaman millennial ini, ladang untuk berdebat tentu bukan hanya di dunia nyata saja. Hadirnya sosial media, ternyata memberikan wadah baru yang lebih luas untuk beradu argumen, pemahaman, dan cara berpikir. Sehingga, kita pun tidak hanya berdiskusi dengan orang-orang sekitar, tetapi lebih luas, bisa antar kota, provinsi, dan bahkan antar negara.

Sayangnya, ada begitu banyak orang yang salah dalam menggunakan bentuk kebebasan berkomunikasi ini. Jangan heran bila kemudian kita sering menemukan di sosmed tentang argumen-argumen yang berujung pada permusuhan, sindir-menyindir, bahkan blak-blakan menjelek-jelekkan.

Saran-saran untuk tidak berkata sembarang sering dilabrak, larangan untuk tidak menulis yang jelek-jelek tidak dihiraukan. Akhirnya, debat yang seharusnya menemukan solusi, berakhir dengan caci maki. Debat yang seharusnya mempererat, malah menjadi hal-hal keparat. Karenanya, mari berdebat dengan santun, stop ujaran-ujaran kebencian dengan mempraktikkan hal-hal berikut ketika berdebat.

Pertama, pakailah bahasa yang santun, yang sopan, yang tidak menyakiti perasaan orang yang sedang kita debat. Ingatlah, bahwa debat bukan berarti mencari musuh, tetapi mencari sebuah solusi, mencari jawaban yang akan membawa pada kebaikan-kebaikan.

Baca juga :Berdebat Santun Ala Islam untuk Cegah Ujaran Kebencian

Lagi pula, memakai bahasa atau tutur kata yang baik, yang sopan, tentu akan membuat orang lain lebih memahami terhadap maksud yang ingin kita sampaikan. Toh, dipastikan, siapapun orangnya, ia tidak akan menyukai mereka yang gemar mencaci-maki, menghujat, dan merendahkan. Seandainya berdebat dilakukan dengan bahasa yang santun dan sopan, tentu akan terasa lebih bersahabat, akan mengasyikkan sehingga membawa pada kedamaian-kedamaian.

Kedua, jangan menyerang orangnya, tetapi pendapatnya. Memang, bertahan dengan argumen saat berdebat memanglah perlu, harus bahkan. Tetapi, menjadi tidak baik bila digunakan untuk menjatuhkan lawan debat, terlebih melibatkan hal-hal yang personal, jelas itu tidak boleh. Sebab, bila privasi lawan dibobol, maka bukan pencerahan yang didapat, melainkan hal-hal negatif. Ingatlah, sesuatu yang berdampak negatif, itu tidak akan menjadikan positif, pun sebaliknya.

Ketiga, jangan asal nyerocos, jangan asal bunyi, pastikan apa yang kita sampaikan berlandaskan dengan bukti, bukan hoax. Ya, meski kita bebas mengeluarkan pendapat, bukan berarti kita bebas mengarang seenaknya. Berdusta demi kemenangan saat berdebat, merupakan bentuk kesalahan terbesar yang bisa mendatangkan kemudharatan, sebab itu adalah penipuan.

Ibnu Qayyim dalam bukunya Madârij as-Sâlikin mengatakan, bahwa “Jujur adalah predikat bangsa besar. Berangkat dari sifat jujur inilah terbangun semua kedudukan agung dan jalan lurus bagi para pelakunya. Barangsiapa yang tidak menempuh jalan ini, niscaya ia akan gagal dan binasa. Dengan sifat jujur inilah, akan terbedakan antara orang-orang munafik dengan orang-orang beriman dan akan terbedakan antara penghuni surga dengan penghuni neraka.” Jadi, bila disimpulkan, maka dusta merupakan pangkal petaka. Karenanya, pastikan kita menyampaikan hal-hal yang benar ketika berdebat.

Keempat, jangan baperan, tetap santai, tenang, sabar, dan tidak perlu ngegas (emosi). Tetapi, bila emosi dibiarkan menjadi kendaraan debat, maka dipastikan timbul perpecahan. Bila emosi terus-menerus ditunggangi, maka kedamaian akan mustahil didapatkan. Itulah sebabnya, kita harus membuang emosi saat berdebat jauh-jauh. Lagi pula, emosi hanya akan membuat kita buntu ketika berpikir, bahkan akan menimbulkan ujaran-ujaran kebencian. Untuk itu, tetaplah kalem, hadapilah dengan kepala dingin, jangan mudah tersinggung. Tetaplah profesional tanpa perlu melibatkan perasaan, mainkanlah logika positif.

Kelima, jangan enggan untuk mengalah, karena yang mengalah demi kebaikan-kebaikan belum tentu kalah. Toh, sejatinya dalam debat bukan soal menang dan kalah, tetapi mengoreksi pemahaman atau mengkolaborasikan dua pemikiran yang tujuannya demi menemukan pemahaman dan cara berpikir yang lebih berkualitas. Jadi, semisal diperkirakan berakhir dengan celaan, cacian, atau bahkan baku hantam, maka lebih baik mengalahkan demi tetap menjaga kedamaian. Anggaplah sesuatu yang terjadi menjadi sebuah pelajaran baru.

Keenam, hargai setiap pendapat, termasuk dalam keyakinan dan keragaman. Sebab, debat juga bukan tentang siapa yang benar dan siapa yang salah, melainkan untuk melihat sesuatu hal dari sudut pandang yang berbeda, sehingga wawasan kita akan semakin meningkat. Karenanya, menghargai perbedaan pendapat merupakan sesuatu yang harus dilakukan dalam berdebat. Dengan begitu, debat tidak akan menjadi salah satu pintu pemecah belah, melainkan mempererat, karena sudah mendapatkan hal-hal baru dari lawan debat kita.

Dengan keenam hal tersebut, kiranya kita tidak menebar kebencian melalui debat, melainkan mempererat hubungan dengan sesama meski berbeda argumen, pilihan, keyakinan, suku, ras, agama, dan perbedaan-perbedaan lainnya. Mari berdebat dengan santun dan stop ujaran-ujaran kebencian.

Facebook Comments