Hingga tahun 2019, Ujaran kebencian dan Hoax masih menjadi musuh bersama di media sosial. Terlebih menjelang pemilihan presiden (pilpres) tahun 2019, kedua hal tersebut semakin marak di kehidupan bermedia masyarakat. Data yang dilansir oleh Tirto.id (01/10/18) menyebutkan, menjelang pilpres 2019, Hoax semakin masif beredar. Juru Bicara Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemkominfo), Ismail Cawidu mengatakan bahwa hal tersebut tetap menjadi senjata ampuh dalam pilpres.
Penyebaran Hoax tersebut berdampingan dengan adanya undang-undang kebebasan berpendapat. Dalam pasal 28F UUD 1945 disebutkan, setiap masyarakat bebas untuk berkomunikasi dan menyampaikan informasi. Namun, adanya Undang-Undang tersebut tidak berbanding lurus dengan daya kritis masyarakat.
Bahkan, penyebaran berita Hoax saat pilpres menjadi pekerjaan yang menggiurkan. Kanit Subdit Dua Unit Satu Direktorat Cyber Polri, AKBP Punomo, menjelaskan banyak akun yang tidak mendukung calon tersebar di media. Akun anonim tersebut bertujuan hanya meraup keuntungan dari setiap klik pengungjung di lamannya.
Menurutnya, akun anonim tersebut membuat blog dengan pemberetiaan yang menjelek-jelekan salah satu calon. hal tersebut akan menuai banyak pengunjung, terutama mereka yang kontrka dengan calon yang diberitakan tersebut. Wajar rasanya bila ujaran kebencian setiap tahunnya semakin meningkat. Tahun 2016 polisi mencatat sebanyak 777 kasus. Setelah meningkat sebanyak 834 kasus di tahun 2017. Tahun 2018, tercatat sebanyak 569 telah ditangani oleh pihak cyber crime kepolisian. (Tirto.Id)
Pola Amerika
Pola yang digunakan dalam pilpres tahun 2019, seakan mengulangi kembali sejarah pemilihan Trump dan Hilarry Clinton pada tahun 2014 lalu di Amerika. Kemenagan Trump disebabkan karena masifnya penyebaran berita Hoax di Twitter dan Facebook.
Baca juga :Gerakan Siskamling Medsos: Untuk Meredakan Arus Kebencian di Media Sosial
Senjata Hoax yang dibuat oleh Rusia ketika itu menjadi senjata ampuh untuk menumbangkan Hillary. Padahal, sebelumnya lembaga survey Amerika telah menginformasikan bahwa masyarakat Hillary lebih unggul di masyarakat Amerika dibandingkan dengan Donald Trump. Dalam pemilu Amerika, Facebook telah membeberkan adanya keterlibatan Rusia dalam wujud 80 ribu postingan yang meramaikan beranda media sosial selama tahun politik Amerika. Keseluruhan postingan itu diterbitkan operator yang berbeda di Rusia.
Penasihat Facebook, Collin Strecth, mengatakan, 80 ribu postingan dari badan peneiltian internet Rusia itu hanya sedikit dari konten Facebook. Setidaknya setara dengan 1 dari 23 ribu postingan yang diunggah di media sosial itu setidaknya sudah dilihat 126 juta warga Amerika.
Strect mengungkapkan, aktivitas postingan tersebut lebih banyak memakai akun palsu. Unggahan konten juga telah melanggar persyaratan layanan Facebook. Sebanyak 80 ribu postingan tersebut diunggah antara Juni 2015 hingga Agustus 2017. Mayoritas postingan berfokus pada pesan sosial dan politik yang bersifat memecah belah, seperti mengenai hubungan ras dan hak kepemilikan senjata (Majalah IDEA edisi 41, Sesat Pikir Literasi Indonesia).
Bila melihat maraknya berita Hoax sebagai alat perpolitikan saat ini di Indonesia, seakan mengatakan bahwa apa yang terjadi di Amerika saat itu, terjadi juga di Indonesia, terutama pola yang digunakan dalam kontestasi politik saat ini sama dengan Amerika, yakni menggunakan Hoax sebagai senjata utama untuk meraih kekuasaan.
Seperti kata pepatah, guru kencing berdiri, dan murid kencing berlari. Indonesia yang katanya mengadopsi Demokrasi dari Amerika, tentu akan mengikuti pola perpolitikan yang digunakan Amerika juga. Padahal, dampak yang akan ditumbulkan sangat besar, yaitu perpecahan bahkan permusuhan antar masyarakat Indonesia. Lalu, mengapa pola ini tetap ditersukan?
Jangan Percaya
“Politisi sebenarnya tidak percaya atas ucapannya sendiri. Mereka justru terkejut bila rakyat mempercayainya” (Charles De Gaulle: 1874-1965)
Apa yang dikatakan oleh Negarawan Asal Perancis tersebut, patut kita terapkan dalam menghadapi kontestasi politik tahun ini, bahwa apa yang dikatakan mereka hanya janji manis semata untuk meraup suara. Sehingga masyarakat harus tetap skeptis dalam melihat visi-misi serta program yang ditawarkan oleh setiap calon.
Selama bertahun-tahun masyarakat telah menyaksikan sendiri bahwa mereka hanya dibohongi dengan janji para calon pemimpin negara. Alhasil, yang sengasara adalah masyarakat sendiri. Padahal, masyarakat sangat berpotensi untuk merubah pola tersebut, karena seperti jargon yang ada dalam kehidupan demokrasi bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan.
Siskamling Medsos
Dalam mewujudkan kesadaran tersebut, masyarakat yang melek literasi media harus mengadakan Siskamling media sosial. Hal ini sebagai upaya untuk membendung maraknya konten Hoax yang tersebar di media sosial. Pencegahannya pun tidak bisa dilakuakan sendiri, butuh kelompok masyarakat untuk menyebar kedamaian sebagai kontra nasrasi ujaran kebencian serta Hoax.
Terutama generasi milenial, mereka yang sudah terbiasa dengan segala konten yang ada di dunia digital sangat berpotensi untuk mencari serta memahami pola perolitikan saat ini. Sebagai generasi bangsa, generasi milenial sangat bertanggungjawab untuk memahamkan serta menanamkan skeptis digital kepada masyarakat.
Siskamling medsos era ini bisa menjadi obat ampuh untuk meredam segala bentuk ujaran kebencian serta Hoax. Sehingga media sosial yang dikonsumsi oleh masyarakat bervariasi, dan mereka akan memilah milih semua informasi yang mereka dapatkan. Apabila siklus ini telah tercipta di lingkungan masyarakat, ujaran kebencian serta Hoax tidak akan berkembangan di masyarakat.