Media sosial bukan lagi sesuatu yang asing bagi masyarakat kita. We are Social, perusahaan media asal Inggris, melaporkan bahwa dari 265,4 juta masyarakat Indonesia, 132,7 juta di antaranya adalah pengguna internet. Sementara, dari 132,7 juta pengguna internet, 130 juta di antaranya adalah mereka yang aktif bermedia sosial (Detik.com, 12/03/2018). 130 juta bukanlah jumlah yang sedikit, sehingga wajar jika kemudian Indonesia disebut-sebut sebagai salah satu negara dengan pengguna media sosial terbanyak di dunia.
Hadirnya media sosial yang multi-fungsi di tengah-tengah masyarakat tentu akan memberi manfaat yang beraneka ragam. Melalui media sosial, orang dapat dengan mudah mengakses dan menyebar informasi, memperluas relasi bisnis, dan membangun komunikasi yang integratif di dunia maya. Namun, di saat yang sama, media sosial juga dapat menjadi ancaman yang mengerikan. Bagaimana tidak, media sosial akan dengan mudah digunakan semaksimal mungkin oleh kalangan tertentu untuk menyebar narasi jahat, seperti berita bohong (hoax), ujaran kebencian, propaganda, dan paham radikal yang dapat merusak stabilitas masyarakat.
Bagaimana media sosial berubah menjadi ancaman bagi masyarakat bukanlah sekedar dongeng yang tidak memiliki kebenaran faktual. Tidak sedikit kita saksikan kejahatan di dunia nyata yang bersumber dari media sosial; mulai dari perkelahian yang dipicu oleh ujaran kebencian di media sosial sampai dengan prostitusi yang pemasarannya juga menggunakan media sosial. Bukan hanya itu, Solahudin, pengamat terorisme dari Universitas Indonesia, secara tidak langsung menyimpulkan bahwa masifnya aksi teror di Indonesia tidak lain dikarenakan masifnya penyebaran paham radikal di media sosial (Kompas.com, 16/05/2018).
Baca juga :Siskamling Medsos: Wujud Kesalihan Sosial Era Milenial
Persoalannya adalah, siapa yang harus bertanggung jawab atas ancaman yang lahir dari media sosial? Jawabannya bukanlah media sosial itu sendiri karena, sesuai dengan penyebutannya, “media sosial” hanyalah media atau alat yang tidak bisa berbuat apa-apa tanpa adanya agen yang mengendalikan. Itu artinya, media sosial tidak akan bisa bertanggung jawab atas dampak buruk yang ia hasilkan. Kemudian, tanggung jawab juga tidak bisa hanya dibebankan kepada pemerintah. Lagi pula, tidak adil hanya membebankan tanggung jawab kepada pemerintah sementara setiap orang bebas menikmati media sosial. Oleh karena itu, tanggung jawab juga harus dibebankan kepada pengguna media sosial itu sendiri, terutama mereka yang menyadari pentingnya perdamaian di tengah-tengah masyarakat. Pengguna media sosial seperti inilah yang sangat diharapkan mampu ambil bagian dalam sistem keamanan lingkungan (siskamling) media sosial.
Siskamling sebenarnya merupakan salah satu tradisi masayarakat Indonesia yang fungsinya adalah menjaga kedamaian dan ketertiban suatu wilayah dengan cara gotong royong. Siskamling selalu diwariskan dari generasi ke generasi sehingga keberadaannya sampai saat ini masih sering kita dijumpai di berbagai wilayah pedesaan Indonesia. Budaya siskamling secara tidak langsung mengajari setiap generasi bahwa mewujudkan kedamain dan dan ketertiban di tengah-tengah masyarakat bukan hanya tugas pemerintah, melainkan tugas setiap warga negara. Budaya seperti ini akan sangat berguna jika ditularkan ke media sosial.
Sebagaimana siskamling pada umumnya, siskamling media sosial juga tidak akan berjalan dengan baik tanpa gotong royong. Setidaknya ada dua bentuk gotong royong yang harus ada dalam siskamling media sosial. Pertama, gotong royong di antara masyarakat sesama pengguna media sosial yang peduli terhadap kedamaian dan ketertiban. Dengan gotong royong ini para pengguna media sosial harus sama-sama terlibat aktif menyebarluaskan narasi tandingan, seperti cinta dan toleransi, yang dengan sendirinya akan mempersempit ruang gerak berbagai macam narasi jahat. Kedua, gotong royong di antara masyarakat pengguna media sosial dengan pemerintah. Dalam gotong royong ini, pengguna media sosial harus melaporkan secara intens setiap konten media sosial yang dicurigai memuat narasi-narasi jahat. Bukan hanya para pengguna media sosial, dalam gotong royong ini, pemerintah juga harus secara terbuka menerima segala keluhan masyarakat terkait masifnya narasi-narasi jahat yang ada di media sosial. Jika kedua bentuk gotong royong di atas dapat kita terapkan, maka siskamling media sosial dengan sendirinya akan berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan.