A Man of His Word; Sebuah Obituari Paus Fransiskus

A Man of His Word; Sebuah Obituari Paus Fransiskus

- in Faktual
152
0
A Man of His Word; Sebuah Obituari Paus Fransiskus

Kabar duka datang dari Vatikan. Paus Fransiskus, pemimpin tertinggi gereja katolik wafat dalam usia 88 tahun. Pagi, sekira pukul 07.35 waktu Roma, Italia, ia wafat. Beberapa bulan sebelumnya, ia rutin keluar-masuk rumah sakit karena sejumlah penyakit yang dideritanya. Mulai dari phenumonia, bronkhitis, sampai gangguan ginjal.

Kemunculan terakhirnya di muka publik adalah pada saat misa Paskah, Minggu lalu. Di momen itu, ia menyerukan rasa keprihatinannya atas apa yang terjadi di Gaza, Palestina dan menyerukan terwujudnya gencatan senjata. Sebelumnya, ia juga gencar menyerukan kritiknya atas apa yang terjadi di Gaza.

Ia bahkan, menyebut tragedi kemanusiaan Gaza sebagai genosida. Atas kritiknya itu, pemerintah Israel pun merasa geram sampai harus memanggil duta besar Vatikan untuk Israel. Empati Paus Fransiskus terhadap Gaza memang tidak diragukan. Setiap hari, ia menelpon perwakilan Paroki di Palestina untuk mengirimkan berkat dan menyatakan dukungannya terhadap Gaza.

Apa yang dilakukan oleh Paus Fransiskus itu menunjukkan bahwa isu Gaza atau Palestina bukanlah sekadar konflik agama. Apa yang terjadi di Gaza adalah tragedi kemanusiaan yang bertentangan dengan ajaran seluruh agama di dunia. Tragedi Gaza tidak sesederhana konflik Islam dan Yahudi. Realitanya, korbannya bukan hanya muslim, namun juga umat Kristen.

Paus Fransiskus bisa dikatakan sebagai tokoh agama modern yang paling kencang menyuarakan binadamai dan nirkekerasan. Ia bukanlah tokoh agama yang tinggal di menara gading dan terasing dari realitas.

Sebaliknya, ia hidup di tengah umat manusia, berusaha menyelami permasalahanya dan mencari solusinya. Secara simbolik, setiap tahun dalam perayaan Kamis Putih, ia melakukan tradisi mencuci kaki. Bukan kaki para tokoh agama, pemimpin dunia, atau mereka yang dianggap suci dan berkuasa. Melainkan kaki para kaum papa, kelompok lemah, terpinggirkan, dan kerap dianggap hina.

Yakni para narapidana dari berbagai latar belakang, mulai dari perempuan, anak-anak, hingga narapidana muslim. Tindakan simbolis itu mencerminkan pesan bahwa tokoh agama idealnya hadir sebagai pembela kaum lemah. Alih-alih menghakimi para pelajar kriminal dengan stempel negatif, ia justru hadir dengan membawa cinta dan kasih sayang.

Tidak hanya itu, dalam perjalanan apolostik ke berbagai negara, Paus Fransiskus senantiasa membawa pesan binadamai (peacebuilding) dan nirkekerasan (nonviolence). Ia tidak hanya berkunjung ke negara-negara yang berpenduduk mayoritas Kristen. Namun, ia juga mengunjungi Mesir, Yordania, Bangladesh, Turki, dan Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Kunjungan apostolik ini bertujuan agar terjalin dialog antaragama, terutama Islam dan Kristen.

Dalam kunjungannya ke Indonesia, September tahun lalu, Paus Fransiskus menyatakan bahwa kekerasan muncul karena perilaku intoleran. Yakni adanya sikap pemaksaan kehendak dari satu kelompok yang dominan ke kelompok lain yang minoritas. Paus Fransiskus menegaskan bahwa perilaku intoleran bisa dicegah dengan menumbuhkan gerakan binadamai dan nirkekerasan. Yakni menyelesaikan setiap persoalan dengan jalur dialog dan menghindari cara-cara destruktif.

Pesan nirkekerasan yang dibawa Paus Fransiskus adalah hakikat atau inti ajaran kekristenan. Dalam agama Kristen, nirkekerasan merupakan ajaran utama Yesus Kristus. Bahkan, ada ungkapan terkenal dari Yesus, yang mengatakan “jika pipi kirimi ditampar, berikan pipi kananmu”.

Ungkapan ini tentu bukan diartikan sebagai menormalisasi kekerasan, melainkan sebagai sebuah gambaran tentang pentingnya cinta dan kasih sayang untuk meredam kekerasan yang lebih besar dan merusak.

Bagi saya pribadi, Paus Fransiskus adalah sosok tokoh agama ideal di masa kini. Ia menjadikan otoritas dan popularitasnya sebagai tokoh agama untuk membela kaum lemah dan minoritas. Ia tidak tampil sebagai sosok yang sedikit-sedikit menghakimi individu atau kelompok yang berbeda dengan label bidah, kafir, sesat, dan sebagainya.

Ia justru hadir dengan tangan terbuka dan merangkul mereka. Kaum minoritas lemah seperti penganut LGBT tidak lantas dihakimi dengan dalil teologis. Alih-alih mereka diterima secara simpatik. Paus Fransiskus tidak melegalkan LGBT apalagi memberkati pernikahan sesama jenis. Namun, ia menolak LGBT sebagai dosa apalagi dijadikan alasan untuk mengucilkan mereka dari keluarga dan masyarakat.

Ia bahkan mengijinkan pastor Katolik untuk memberikan pemberkatan pada pasangan LGBT. Sebuah langkah kontroversial yang berani dan tidak populer. Namun, Paus Fransiskus melakukannya demi mencegah terjadinya kekerasan terhadap kaum LGBT yang selama ini dipersepsikan sebagai musuh masyarakat.

Paus Fransiskus, sebagaimana judul film dokumenternya adalah “a man of his word”. Yakni laki-laki yang setia pada ucapan dan komitmennya. Dialah sosok yang ucapan dan perilakunya seiring sejalan. Apa yang ia khotbahkan di atas mimbar, itulah yang dia lakukan di kehidupan nyata.

Khotbahnya tentang kesederhanaan bukanlah lip service khas tokoh agama, melainkan ia buktikan sendiri. Ia tinggal di asrama pastoral di komplek Vatikan, bukan di istana yang dipersiapkan khusus untuk Paus.

Ia mengenakan jam tangan plastik alih-alih Rolex, Richard Mill atau merk mahal lainnya. Setiap kunjungan ke negara lain, ia cukup tinggal di kantor kedutaan besar Vatikan, bukan hotel mewah. Di Indonesia, ia mengendarai mobil MPV yang biasa kita lihat di jalanan setiap hari.

Pesannya tentang kemanusiaan ia buktikan dengan mencuci kaki narapidana, menyerukan perdaiamaian Ukraina dan Rusia, serta menyebut kekerasan di Gaza sebagai Genosida. A man of his word adalah julukan yang tepat. Arkian, selamat jalan Bapa Paus Fransiskus.

Facebook Comments