Agama Sumber Harmoni Sosial?

Agama Sumber Harmoni Sosial?

- in Budaya, Peradaban
3914
0

Sebagai salah satu usaha dalam mempromosikan perdamaian, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) setiap tahun menyelenggarakan acara World Interfaith Harmony Week selama satu minggu di bulan Februari. Tahun ini PBB mengangkat tema “Love God and Love Neighbors” (Mencintai Tuhan dan Mencinta Sesama). Para aktivis perdamaian dan masyarakat di berbagai negara menggelar berbagai aktivitas untuk mempromosikan agenda tahunan ini dengan berbagai cara yang unik dan menarik.

Untuk konteks Indonesia dan dunia Islam pada umumnya, perayaan “World Interfaith Harmony Week” ini, secara langsung atau tidak, menjadi respon terhadap isu yang radikalisme agama yang kini tengah menjadi perhatian publik, seperti isu terorisme ala ISIS. Meningkatknya intoleransi beragama, serta meruncingnya konflik sektarian, fenomena saling mengkafirkan (takfiri), dan berbagai propaganda anti-perdamaian yang makin lama makin menggema, membuat kita semua resah.

Agama yang seharunya menjadi sumber harmoni, justru tidak jarang disalahgunakan untuk menjadi sumber disharmoni. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Setara Institute, hanya dalam kurun waktu 6 bulan (Januari-Juni) di tahun 2013, kehidupan sosial kita diperkeruh dengan sekitar 160 tindak kekerasan yang mengatasnamakan agama. Angka kekerasan tersebut selalu meningkat setiap tahunnya. Hal ini semestinya dijadikan alarm atas berbahayanya sikap dan tindakan tidak menghargai perbedaan agama; karena peristiwa kekerasan seringkali didasari oleh hilangnya sikap menghargai perbedaan. Data tentang kekerasan ini juga tak boleh dilihat hanya sekedar angka statistik peristiwa belaka, tetapi juga sebagai pengingat bahwa negara kita sedang berada dalam krisis perdamaian.

Berdasarkan Indeks Perdamaian Global 2014, Indonesia menduduki peringkat ke 54 dari 162 Negara yang diriset terkait tingkat perdamaiannya. Salah satu barometer yang digunakan dalam riset tersebut adalah banyaknya jumlah kekerasan dan kejahatan yang terjadi di negara ini.

Gejala kekerasan terhadap orang yang berbeda mengindikasikan bahwa sikap toleran saja tidak cukup. Sebab, toleransi secara bahasa diambil dari kata “Tolo” (Latin) yang berarti membiarkan selama tidak mengganggu. Toleransi hanya sikap penghargaan pasif, sedangkan untuk hidup berdampingan di tengah perbedaan, memerlukan empati yang bersifat aktif. Kelompok mayoritas harus berusaha merasakan kebutuhan atas perlindungan dari kelompok minoritas. Sebaliknya, kelompok minoritas harus memahami kebutuhan kelompok mayoritas akan sikap penghargaan.

Pesan utama dari World Interfaith Harmony Week adalah mengajak masyarakat dunia untuk melihat perbedaan sebagai sebuah fakta yang tak bisa dihindarkan. Perbedaan haruslah disikapi dengan semangat kebersamaan (togetherness) dalam mencari kesamaan (common ground) bukan penyamaan (uniformity).

Sebagai makhluk sosial, kita tidak bisa hidup mandiri, sehingga hidup bersama dengan orang lain mesti dipandang sebagai keniscayaan. Kemampun untuk hidup bersama dengan orang-orang yang berbeda – khususnya beda agama – adalah bukti dari kecintaan kita pada Tuhan.

Dari kegiatan “World Interfaith Harmony Week” ini, setidaknya ada tiga pesan utama yang dapat dipetik. Pertama, spirit iman harus mampu mentransformasi penganut agama menjadi orang beradab, santun, dan selalu menebar kasih sayang ke dalam wujud laku lampah. Kedua, agama semestinya menjadi potensi dasar untuk kita bersama dalam membentuk tradisi berpikir terbuka, bersikap dewasa, dan toleransi plus empatisme. Ketiga, agama bisa menjawab kebutuhan dasar (basic need) masyarakat dari generasi ke generasi untuk hidup berdampingan secara rukun dengan berbagai agama, etnik dan kebudayaan.

Peace together in harmony; not yet ceremony!

Facebook Comments