Takfir fi Zamani Tafkir

Takfir fi Zamani Tafkir

- in Editorial
3267
0

Nasr Hamid Abu Zayd, seorang pemikir dari Mesir, pernah menulis sebuah buku berjudul at-Takfir fi zamani at-Tafkir, kafir-mengkafirkan di zaman ‘mikir’. Memang buku itu ditulisnya sesaat ramai pengkafiran dirinya oleh sekelompok otoritas keagamaan Mesir pada kisaran tahun 1995. Namun, istilah yang digunakan buku itu masih relevan untuk menilik peradaban Indonesia hari ini.

Frase “kafir-mengkafirkan di zaman ‘mikir’” sejatinya adalah kritik peradaban kita hari ini. Di peradaban yang katanya sudah canggih ini, dimana gadget sebagai perkembangan teknologi informasi menjadi milik semua orang, jalan pintas dengan menuduh ‘Kafir’ orang yang berbeda haluan masih saja sering dijumpai.

Jika saja anda melihat dunia maya sebagai parameter untuk melihat para penggemar takfiri (orang yang suka mengkafirkan), maka anda akan terkejut karena ternyata mereka berasal dari kalangan intelektual yang semestinya mengapresiasi aktifitas berfikir. Mereka tampak loyo di hadapan teks-teks keagamaan dan menjadi sangat literalis dan anti tafsir, apalagi jika menyangkut perubahan.Kita semua bisa menjadi ‘kafir’ dalam pandangan mereka, hanya karena persoalan-persoalan sepele semisal barzanjian, tahlilan, tumpengan, selametan, dan bermacam lagi aktifitas budaya. Belum lagi persoalan-persoalan yang lebih besar seperti menolak definisi khilafah versi mereka, berhukum kepada selain hukum Tuhan, atau bernegara tidak berazaz agama. Semua adalah kafir!

Kafir bukan sekedar istilah. Pelabelan seperti ini memiliki konsekuensi lanjutan. Jika anda seorang muslim dan dilabeli seperti ini, maka anda telah kehilangan hak-hak yang melekat pada diri seorang muslim. Anda tak berhak disholatkan dan dilakukan upacara keislaman lainnya saat anda wafat. Tak hanya itu, dalam tingkat yang lebih akut anda bisa kehilangan hak untuk hidup karena dianggap telah murtad, keluar dari keyakinan agama.

Budaya ‘Kafir’ menjadi marak. Di dunia maya saja sejumlah situs sudah dipastikan terjangkit virus ‘kafir’ ini. Belum lagi di dunia nyata. Atas nama dakwah mereka tega memasukkan saudaranya sendiri ke dalam kubang api neraka. Seakan surga hanya milik mereka yang sepaham, bukan milik golongan lain diluar mereka.

Kenyataan ini sangat bertolakbelakang dengan dakwah para penyebar Islam generasi awal di bumi Nusantara sekitar 500 tahun silam. Dengan kerendahan hati dan kasih sayang mereka menebar rahmat Islam hingga menjadi umat mayoritas di negeri ini. Setelah menjadi Islam, mengapa kini mereka dikeluarkan paksa dari agamanya?!
Lebih lanjut tudingan kafir kini meluas. Mereka yang tidak sepaham atau tidak mendukung gerakan keagamaan versi kelompok ini dianggap sebagai SEPILIS, yang merupakan kepanjangan kata dari Sekulerisme, Pluralisme, dan Liberalisme. Bahkan kini sudah tambah satu julukan, yaitu Syiah dan Komunis.

Karena sifatnya sekedar tuduhan, maka tuduhan itu tak penting dibuktikan. Yang pasti, siapapun orangnya jika sudah menolak gagasan mereka maka label itu disematkan. Jika anda mau bukti silahkan saja mencari tahu soal mereka di situs-situs radikal.

Jika anda pernah belajar logika, aktifitas takfiri jelas tak masuk akal. Mengapa? Karena ada kesalahan metode berfikir yang digunakan. Logika induksi dan generallisasi mereka gunakan untuk melihat fenomena sosial dan keagamaan. Inilah yang harus diluruskan. Bukankah sikap saling menghormati dan mau memahami keyakinan orang lain akan menumbuhkan kedamaian antar manusia? Saya sebagai penulis dan anda yang membaca semoga tidak menjadi kafir gara-gara tullisan ini!

Facebook Comments