Akhlak Sebagai Penangkal Radikalisme

Akhlak Sebagai Penangkal Radikalisme

- in Narasi
1657
0
Akhlak Sebagai Penangkal Radikalisme

Adalah suatu fakta, salah satu sebab muncul radikalisme adalah akibat dari pemahaman agama yang kaku, baku, dan hanya sibuk dengan kulitnya saja. Sikap intoleransi muncul dari ketidakmampuan dari para penganutnya untuk masuk ke level yang lebih dalam, yakni substansi ajaran agama.

Ajaran yang selalu menekankan substansi ajaran agama disebut dengan akhlak. Akhlak –meminjam definisi Imam Miskawaeih –adalah sifat dasar yang telah terpendam di dalam diri dan tampak ke permukaan melalui kehendak/kelakuan dan terlaksana tanpa ada keterpaksaan oleh satu dan lain hal.

Akhlak selalu menekankan substansi. Segala macam perbedaan, keragaman, dan aneka latar belakang, selama masih tetap berpegang teguh pada substansi, maka ia disebut sebagai manusia yang berakhlak.

Dalam Islam, substansi agama itu adalah rahmah. Ini sesuai dengan redaksi ayat wa ma arsalnaka illa rahmatan lilalamin. Menurut Qurasih Shihab, ayat ini sering diterjemahkan secara salah oleh sebagian pihak, dengan terjamah Kami tidak mengutus kamu (Muhammad) kecuali sebagai rahmat kepada sekalian alam.

Terjamah seperti ini menurut Quraish Shihab kurang tepat, sebab seolah-oleh yang rahmat itu hanya Muhammad saja sebagai pembawa risalah.

Padahal, dalam ayat itu, ada tiga komponen, yakni pengirim risalah (Allah), pembawa risalah (Muhammad), dan ajaran risalah (Islam). Ketiga komponen ini adalah rahmat sekaligus, bukan hanya pembawa risalah yang disebut rahmah.

Rahmah Sentris

Rahmah sebagai substansi ajaran agama dengan demikian selalu menekankan kasih sayang, welas asih, toleransi, dan kecintaan terhadap sesama. Ajaran tasawuf selalu menekankan perlunya setiap individu untuk memandang manusia lain seperti dia memandang dirinya sendiri.

“Tidak beriman seorang kamu sampai dia bisa mencintai orang lain layak mencintai dirimu sendiri”, merupakan hadis yang populer dalam kajian Akhlak. Memandang orang lain, patokannya adalah rahmah.

Urgensitas rahmah ini muncul sebab tiga unsur dalam Islam adalah rahmat. Pertama, pengirim risalah (Allah) adalah rahmah. Tuhan dalam konsepsi tasawuf bukanlah tuhan yang suka marah-marah, pendengki, pendendam, dan suka cara-cara kekerasan. Kebertuhanan dalam kosmologi tasawuf adalah Tuhan yang penuh kasih sayang.

Makan term mahabbah (cinta) seperti dipelopori sufi besar Rabiatul Adawiyah atau term khauf dan raja’, takut dan berharap, domotori Hasan Basri, adalah kata kunci setiap individu dalam hidup dan kehidupan. Inilah yang menyebabkan para sufi bisa diterima oleh semua kalangan.

Kedua, pembawa risalah (Muhammad) adalah rahmah. Semua gerak-gerik, baik ucapan, perbuatan, pengakuan Nabi Muhammad dalam ajaran tasawuf adalah rahmah. Dalam menyelesaikan semua masalah yang dihadapi oleh Nabi diselesaikan dengan kacamata cinta dan kasih sayang.

Dalam sejarahnya menurut para sufi, Nabi selalu berupaya untuk tidak menerapkan hukum yang kaku dan baku itu. Bila ada yang terdapat mencuri atau berzinah umpamanya, Nabi mengedepankan cinta dan kasih sayang dengan cara memaafkannya. Sanksi hukuman hanya diberikan sebagai upaya terakhir dan jika memang itu sudah kehendak dari sang pelaku.

Pun demikian dengan yang ketiga, ajaran risalah (Islam). Doktrin paling substansial dari Islam menurut para tasawuf adalah cinta. Bahkan Ibnu ‘Arabi menyatakan, “agamaku adalah agama cinta, ke mana pun ia pergi, maka ke situ aku akan pergi.”

Islam mazhab cinta ini bisa diterima oleh semua kalangan baik beda agama, budaya, maupun latar belakang politik. Kesuksesan para wali-songo dalam menyebarkan Islam tidak terlepas dari pendekatan cinta ini. Tidak ada dalam sejarah agama di dunia ini yang melebihi kesuksesan para wali-songo yang menyebarkan agama tanpa kekerasan, resistensi, penolakan, atau pengusiran.

Akhlak Terabaikan

Kondisi keberagamaan kita saat ini justru jauh dari substansi agama itu (rahmah). Persis inilah yang digelisahkan oleh Quraish Shihab dalam bukunya Yang Hilang dari Kita: Akhlak (2018). Kita kehilangan akhlak dalam bergaul dengan manusia.

Hanya perbedaan sedikit saja, sudah menjadi perpecahan. Hanya beda pilihan politik, kita sudah bermusuhan. Hanya beda organisasi kita sering terjebak pada egoisme. Semua itu karena kita tidak bisa bediri di atas fondasi cinta.

Hilangnya rahmah ini –sadar atau tidak –menyebabkan individu memandang orang lain sebagai asing. Sikap untuk memahami liyan pun tidak berjalan. Yang ada eksklusifatas golongan masing-masing.

Sikap intoleransi, tidak menghargai perbedaan, dan menegasikan keberagaman timbul dari hilangnya cinta dari diri manusia. Kita tidak bisa lagi memposisikan manusia lain laiknya kita mencintai diri kita sendiri seperti ajaran para sufi itu.

Sikap anti-perbedaan dan anti-keberagaman pada akhirnya akan menimbulkan anti-sistem. Semua sistem yang bertolak belakang dengan diri/kelompoknya akan ditolak. Sistem politik, ekonomi, dan sosial –yang bertolak belakang dengan pemahaman agamanya yang fokus pada kulit –akan dicap sebagai produk barat dan kafir.

Hilangnya rahmah adalah musibah paling besar dalam kehidupan keberagamaan kita. Dalam konteks berbangsa dan bernegara, kita susah menciptakan suasana saling asuh dalam beragama dan saling asah dalam berbangsa dan bernegara. Bila ada PR yang menjadi kewajiban kita bersama, maka PR itu adalah menghadirkan kembali rahmah itu di tengah-tengah kita. Tidak ada cara lain kecuali dengan kita menjadikan akhlak sebagai patokan dalan bersikap, bertindak, dan berprilaku.

Facebook Comments