Akhlakul Karimah, Kesalehan Transformatif dan Kesadaran Humanis

Akhlakul Karimah, Kesalehan Transformatif dan Kesadaran Humanis

- in Narasi
550
1
Akhlakul Karimah, Kesalehan Transformatif dan Kesadaran Humanis

Dinamika keberagamaan di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini menunjukkan gejala yang mengkhawatirkan. Di satu sisi, terjadi peningkatan kesalehan individual di kalangan muslim. Hal ini tampak dalam pengejawantahan simbol dan ajaran Islam dalam kehidupan publik. Kita bisa menyaksikan sendiri bagaimana maraknya ekspresi keberagamaan di ruang publik dalam beberapa tahun belakangan.

Namun, di sisi lain hal itu juga berbanding lurus dengan kian menguatnya corak konservatisme keberislaman. Hal itu mewujud ke dalam tuntutan pemberlakuan syariah Islam sebagai hukum positif negara. Tuntutan itu pun terakomodasi oleh sistem otonomi daerah yang memungkinkan setiap daerah menyusun peraturan daerahnya masing-masing. Mekanisme inilah yang lantas menjadi celah munculnya sejumlah perda islami atau perda syariah.

Dalam perkembangannya, konservatisme Islam yang mewujud ke dalam gerakan formalisasi syariah itu lantas menimbulkan sejumlah persoalan. Salah satunya ialah munculnya diskriminasi sosial berbasis agama yang kerap terjadi di ruang publik kita. Pemberlakuan perda syariah di sejumlah wilayah, kerap memakan korban, yakni kelompok minoritas non-muslim.

Puncaknya, kebebasan beragama dan berkeyakinan yang sejatinya dijamin oleh konstitusi justru menemui jalan buntu. Klaim kebenaran atas nama agama yang diformalkan melalui peraturan daerah kerap kali menjadi pemicu pecahnya gesekan sosial di tengah masyarakat. Kemajemukan Indonesia yang merupakan ciri khas dan identitas kita pun akhirnya terkikis oleh arogansi mayoritas. Pada titik ini, kita tampaknya telah gagal membangun satu paradigma keberagamaan yang ramah dan toleran pada realitas kebinekaan Indonesia.

Baca Juga :Perbaikan Akhlak: Solusi Reflektif atas Problem Bangsa

Padahal, jika merujuk pada praktik keberislaman Nabi Muhammad, kita sepatutnya malu telah mengumbar sikap arogan dalam beragama. Nabi Muhammad sebagai panutan ideal kaum muslim sama sekali tidak pernah memaksakan kehendaknya pada kelompok lain. Aktivitas dakwah dan syiar Islam yang dilakukan Rasulullah selalu berdasar pada spirit akhlaqul karimah. Nabi Muhammad mengajak orang lain masuk Islam dengan pendekatan empati dan simpati.

Melampaui Kesalehan Individual

Dalam menjalani aktivitas dakwahnya, Nabi Muhammad benar-benar mempraktikkan ayat al Quran yang berbunyi “la ikraha fi al din, qad tabayyana al rusyd min al ghayy”. Bahwa tidak ada paksaan dalam agama. Jika pun ada riwayat tentang peperangan di masa dakwah Rasulullah, hal itu hanya bagian kecil dari keseluruhan dakwah Islam Rasulullah. Secara keseluruhan penyebaran Islam oleh Nabi Muhammad dilakukan dengan cara-cara damai dan jauh dari kekerasan. Peperangan dipilih sebagai jalan terakhir, dan itu pun kerap dilatari oleh motif politik ketimbang tujuan-tujuan keagamaan.

Dunia Islam kontemporer jelas berbeda dengan Islam di masa Nabi Muhammad. Kini dunia Islam telah memasuki era modern dengan segala tantangan dan dinamika yang jauh berbeda dengan era Rasulullah. Maka, sudah menjadi keniscayaan jika paradigma keislaman yang kita kembangkan pun tidak harus sama persis dengan di zaman Nabi. Secara akidah, Islam tentu tidak dapat diubah. Namun, praktik sosialnya tentu harus mengalami penafsiran yang terus-menerus.

Oleh karena itu, penting bagi umat Islam Indonesia hari ini untuk meneladani akhlaqul karimah yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad. Dengan meneladani akhlaqul karimah Rasulullah, diharapkan umat muslim akan mampu melampaui konsep kesalehan individual menuju kesalehan transformatif. Lantas, apa itu kesalehan transformatif?

Ada dua kata kunci dalam frase kesalehan transformatif, yakni kesalehan dan transformatif. Kesalehan dapat diartikan sebagai tindakan atau sikap yang berguna bagi diri sendiri dan orang lain, serta dilakukan atas dasar kesadaran ketundukan pada ajaran Allah. Kesalehan dengan demikian merupakan pengejawantahan atas keberimanan seseorang yang dilakukan dengan sadar.

Sedangkan transformatif diartikan sebagai perpindahan atau gerakan yang melampaui apa yang sudah ada dan menuju terciptanya satu sistem yang baru. Jika digabungkan dengan kata kesalehan, makna transformatif lebih sebagai bentuk penegasan bahwa konsep kesalehan itu tidak hanya berhenti pada pencapaian individu, namun juga bermakna dan berdampak bagi orang lain. Sederhananya, kesalehan transformatif ialah bentuk kesalehan yang menerabas batas-batas individu dan masuk ke dalam isu sosial yang lebih luas.

Lalu, mengapa kita harus mengembangkan kesalehan transformatif? Salah satu alasan terkuatnya ialah karena Indonesia merupakan negara yang plural. Mayoritas penduduk Indonesia memang muslim, namun jangan lupa ada entitas-entitas agama lain yang tinggal di negeri ini. Mereka adalah warganegara yang sah dan konstitusi menjamin hak dan kebebasan mereka dalam beragama. Kenyataan inilah yang belakangan ini luput dari wacana keberagamaan kita. Sindrom mayoritas yang diidap oleh sebagian muslim sedikit-banyak telah melatari sejumlah tindakan diskriminatif pada kelompok agama minoritas.

Dengan mengembangkan kesalehan transformatif, perilaku keberislaman akan bermanfaat bagi orang lain. Ini artinya, Islam akan bermanfaat tidak hanya bagi pengikutnya, namun juga bagi komunitas agama lain. Dengan kalimat lain, kesalehan transformatif juga merupakan pengejawantahan dari konsep Islam sebagai agama rahmatan lilalamin. Pertanyaan selanjutnya ialah bagaimana kita membangun kesalehan transformatif tersebut?

Menurut Moeslim Abdurrahman, usaha untuk melakukan eksperimen teologi transformatif dilakukan dengan mencari pendekatan baru. Yaitu melalui penafsiran atas teks keagamaan dengan kesadaran akan konteksnya dan kemudian mempelajari konteks secara dialogis. Dengan pendekatan yang demikian ini, teks keagamaan akan benar-benar hidup dalam realitas empiris dan mengubah keadaan masyarat ke arah transformasi sosial yang sesuai dengan ajaran dan prinsip Islam.

Transformasi Peran Kekhalifahan

Puncak dari kesalehan transformatif ialah munculnya kesadaran humanis. Yakni ketika seorang muslim mampu mengesampingkan ego individual sekaligus sektoralnya dan sepenuhnya menjadi manusia yang utuh. Kesadaran humanis, menurut Abdul Munir Mulkhan adalah perwujudan dari manusia sebagai khalifatullah. Fitrah penciptaan manusia oleh Allah SWT ialah mengemban misi kemanusiaan dan menebar rahmat bagi seluruh alam semesta. Misi itu dapat terwujud jika manusia mampu melebur ke“aku”annya.

Maka, kesadaran humanis ini sejatinya merupakan puncak dari akhlaqul karimah Rasulullah. Rasulullah sendiri telah melewaiti dua fase keselehan (individual dan transformatif) tersebut. Fase tiga belas tahun pertama Nabi Muhammad di Makkah bisa disebut sebagai fase kesalehan individual. Sedangkan fase sepuluh tahun kedua di kota Madinah bisa disebut sebagai fase kesalehan transformatif. Salah satu wujudnya ialah membangun tatanan sosial yang egaliter di Madinah.

Kesadaran humanis ini yang idealnya kita kembangkan di Indonesia. Di tengah menguatnya sentimen egoisme individu, sektoral dan kelompok yang rawan memecah belah kesatuan, kita membutuhkan satu paradigma keberislaman yang mampu menaungi semua kepentingan golongan. Nabi Muhammad dengan akhlaqul karimah-nya telah membuktikan diri mampu menjadi khalifah tidak hanya bagi umat Islam, namun bagi seluruh entitas masyarakat Madinah dan Mekkah.

Kesanggupan mentransformasikan kesalehan individual menuju kesalehan sosial itulah yang merupakan ciri dari kekhalifahan. Kekhalifahan sebagai fungsi yang diberikan pada diri manusia, merupakan perjuangan untuk menciptakan sebuah tatanan moral di atas dunia. Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa kesalehan transformatif merupakan konsekuensi logis dari keteladanan muslim pada akhlaqul karimah Rasulullah.

Facebook Comments