Beberapa hari mendatang, umat Muslim sedunia khususnya yang ada di Indonesia akan menyambut hari raya Idul Fitri. Hari raya ini jatuh pada bulan Syawal, yaitu bulan ke sepuluh setelah bulan Ramadhan dalam penghitungan Hijriah. Hari raya Idul Fitri memiliki berbagai macam pengertian. Ada yang mengartikan Idul Fitri sebagai hari berbuka, karena selama sebulan penuh pada bulan sebelumnya (Ramadhan) umat Islam berpuasa menahan makan, minum dan hal-hal yang membatalkan puasa. Ada pula yang mengartikannya dengan artian “kembali suci” karena telah melaksanakan ibadah puasa dan mendapatkan ampunan dari Allah sehingga menjadi suci tanpa dosa.
Untuk memaknai Idul Fitri sebagai kembali kepada kesucian, maka kita harus melakukan penyucian jiwa terlebih dahulu pada bulan Ramadhan dengan cara melaksanakan perintah puasa dan amalan-amalan baik lainnya serta menghindari perbuatan-perbuatan yang mengandung dosa. Puasa pada bulan Ramadhan pun tidak hanya dimaknai sebagai ketiadaan makan dan minum saja. Tetapi puasa juga harus dimaknai sebagai menahan perbuatan-perbuatan yang menyulut disintegrasi bangsa, merongrong persatuan dan kesatuan bangsa, ujaran kebencian, penyebaran informasi hoaks, radikalisme dan fanatisme buta serta perbuatan-perbuatan yang menggerus nilai-nilai kemanusiaan lainnya.
Bahkan ketika berpuasa, kita juga harus banyak melakukan perbuatan-perbuatan terpuji seperti menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dengan tidak melakukan ujaran kebencian dan penyebaran informasi hoaks. Kita juga harus memupuk toleransi dan solidaritas antar umat beragama dan sesama anak bangsa sehingga tercipta kedamaian di bumi Indoensia.
Aktualkan Fitrah Persaudaraan
Fitrah dapat diartikan sebagai segenap potensi dan kecenderungan yang dimiliki oleh setiap manusia. Fitrah atau potensi dan kecenderungan ini perlu mengaktual menjadi ucapan dan perbuatan dari seorang manusia. Setiap manusia mempunyai fitrah yang tidak terbatas. Oleh karena itu, manusia membutuhkan pemahaman akan tata nilai yang berada di luar dirinya (nilai yang berada di masyarakat/bangsa) agar fitrah tersebut aktual sesuai dengan nilai yang ada di dalam masyarakat. Maka seorang muslim yang tinggal di Indonesia harus mengaktualkan fitrahnya sesuai dengan sistem nilai yang berlaku di bumi pertiwi.
Indonesia merupakan negara yang majemuk, multikultural, multietnik dan multi agama yang di dalamnya hidup penduduk yang beragam. Perekat dan pemersatu keberagaman tersebut ialah pancasila dan semboyan bhineka tunggal ika. Selain itu, persaudaraan antar anak bangsa juga menjadi kekuatan pemersatu dari ancaman clash dan crash yang menimpa bangsa Indonesia akibat keragamannya.
Ketika seorang muslim hidup di Indonesia, maka dia harus mengaktualkan fitrah persaudaraan yang ada dalam dirinya. Persaudaraan tidak hanya sesama muslim, tetapi juga persaudaraan sesama anak bangsa bahkan persaudaraan antar manusia. Terlebih Islam itu sendiri bermakna keselamatan dan pemaknaan tersebut harus dimanifestasikan menjadi keselamatan saudara-saudara seorang muslim, baik saudara sesama muslim, saudara sekebangsaan bahkan saudara sekemanusiaan dari ucapan dan perbuatanmya.
Ketika fitrah seorang muslim untuk hidup bersaudara telah aktual, maka muslim tersebut akan membangun persaudaraan dengan siapa saja tanpa pandang bulu meskipun berbeda keyakinan, etnis, suku bahkan pilihan politiknya. Dengan menganggap orang lain sebagai saudara, maka mustahil rasanya dia akan memperlakukan saudaranya sendiri dengan perlakuan yang buruk. Sudah barang tentu ia akan memperlakukan saudaranya dengan sebaik-baiknya sebagaimana dia memperlakukan dirinya sendiri. Dengan demikian, maka bangsa Indonesia bisa bersatu padu dan tidak ada lagi saling benci dan saling sikut antar sesama anak bangsa. Sehingga kita bisa ikut membantu pemerintah untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia.
Dengan demikian, melalui momentum Idul Fitri ini, marilah kita mengaktualkan kembali potensi persaudaraan yang ada di dalam diri kita. Persaudaraan dalam Islam, dalam kebangsaan bahkan dalam kemanusiaan sehingga tidak hanya Idul Fitri saja yang bermakna suci, tetapi kita juga menjadi pribadi yang suci.
Wallahu A’lam