Dari NII ke ISIS; Membaca Evolusi Jaringan Teroris di Indonesia

Dari NII ke ISIS; Membaca Evolusi Jaringan Teroris di Indonesia

- in Narasi
522
0
Dari NII ke ISIS; Membaca Evolusi Jaringan Teroris di Indonesia

Keberadaan NII (Negara Islam Indonesia) yang didirikan oleh Sekarmaji Marijan Kartosoewirjo ibarat hantu. Eksistensinya di alam nyata memang samar-samar. Namun, keberadaannya cukup menebar ancaman bagi keamanan negara dan keutuhan bangsa.

Pasca ditumpas pada dekade 1960-an, ide tentang negara Islam memang tidak pernah benar-benar tiarap. Pasca tumpasnya pemberontakan NII di Jawa Barat, muncullah pemberontakan serupa di Sulawesi yang dikomandoi oleh Kahar Muzakkar. Baik Kartosuworyo maupun Muzakkar, keduanya memiliki hasrat ingin menjadi pemimpin umat Islam di Indonesia.

Pasca penumpasan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia pimpinan Muzakkar di Sulawesi pun, gagasan tentang negara Islam dan penerapan syariah tidak hilang dari memori kolektif bangsa ini. Pasca Reformasi 1998, gagasan itu mengemuka dalam wacana mengembalikan amandemen UUD 1945 dan usaha mengembalikan tujuh kata dalam Piagam Jakarta (kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya).

Upaya itu gagal di tingkat parlemen. Meski demikian, upaya penerapan syariah berhasil diwujudkan melalui peraturan daerah (perda) islami sebagai konsekuensi dari otonomi daerah. Sejalan dengan itu, lanskap keislaman di Indonesia pun juga diwarnai oleh masuknya ideologi dan gerakan keislaman transnasional. Gerakan ini tidak hanya mengusung ide negara Islam namun khilafah Islam. Yakni imperium Islam yang menguasai seluruh dnia.

Infiltrasi Ideologi Transnasional dan Kebangkitan Sentimen Negara Islam di Indonesia

Gelombang infiltrasi ideologi dan gerakan keislaman transnasional harus diakui memberikan stimulus baru pada bangkitnya sentimen negara Islam. Terbukti, pasca masuknya ideologi dan gerakan keislaman transnasional itu, kelompok teroris lokal pun mulai bermunculan.

Rentetan teror baik dalam skala besar, menengah, dan kecil pun menghantui Indonesia. Puncaknya adalah ketika muncul ISIS yang berbasis di Suriah dan Irak. Pola infiltrasi ISIS ini cenderung berbeda dengan kelompok ekstrem terdahulu seperti Jamaah Islamiyyah atau Al Qaeda. ISIS tidak menerapkan metode yang ketat dalam hal rekrutmen atau pembaiatan. Seseorang bisa diindoktrinasi dan berbaiat pada ISIS hanya melalui teknologi digital tanpa tarao muka.

ISIS juga memiliki doktrin “jihad” yang nisbi berbeda dengan JI atau Al Qaeda. ISIS menyerukan simpatisannya di seluruh dunia untuk melakukan teror dimana pun berada dan dengan sumber daya yang dimiliki. Doktrin ini yang menyulut aksi-aksi kekerasan acak seperti bom bunuh diri, penembakan, sampai serangan menggunakan pisau kepada pihak-pihak yang dianggap menghalangi tujuan berdirinya kekhalifahan Islam.

Dalam konteks Indonesia, doktrin ISIS itu telah melatari munculnya fenomena lone wolf terrorism. Yakni terorisme yang direncanakan dan dieksekusi oleh pelaku tunggal dengan senjata seadanya. Meski terkesan amatir, namun keberadaan lone wolf terrorist ini tetap berbahaya lantaran mereka sulit dideteksi keberadaannya. Serangan mereka menang nisbi lemah dan kecil, namun daya kejutnya luar biasa karena sukar dideteksi dan diprediksi.

Melihat perkembangan ini, kita bisa menyimpulkan bahwa gerakan terorisme di Indonesia itu berevolusi alias tidak statis. Kaum ekstremis dan teoris lihai menyusun strategi. Termasuk bagaimana berkamuflase ketika ruang geraknya dibatasi oleh aparat keamanan seperti belakangan ini terjadi. Selain teknik kamuflase, mereka juga lihai menyusup ke lembaga-lembaga sosial, pendidikan, politik, bahkan birokrasi pemerintahan.

Mewaspadai Strategi Kamuflase dan Penyusupan Kelompok Teroris

Fase “tiarap” inilah yang sebenarnya patut diwaspadai. Tersebab, meraka tidak pernah benar-benar musnah. Mereka hanya “tidur” sesaat sembari membangun kekuatan dan jaringan. Apa yang mereka tunggu adalah momentum untuk bangkit dan merebut kekuasaan. Momentum itulah yang harus kita cegah bersama.

Salah satunya dengan membongkar setiap strategi kamuflase dan penyusupan kaum ekstremis ke lembaga sosial-keagamaan dan institusi pemerintahan. Maka, pemerintah dan aparatusnya idealnya tidak perlu ragu untuk membongkar jaringan ekstremis-teroris meski mereka berlindung di balik institusi keagamaan seperti pesantren dan sejenisnya.

Perjuangan melawan ekstremisme memang tidak pernah mudah. Organisasi memang bisa dibubarkan melalui selembar surat keputusan. Namun memberangus ideologi perlu strategi jangka panjang dan melibatkan seluruh pihak. Diperlukan sinergi antara pemerintah, lembaga keagamaan, lembaga pendidikan, tokoh agama, dan masyarakat sipil untuk melawan penyebaran dan infiltrasi ideologi ekstremisme-terorisme.

Selama ini jika kita melihat dalam konteks Indonesia, NII memegang peranan penting dalam berkembangnya sel dan jaringan terorisme. Hampir di setiap fase evolusi terorisme, simpatisan NII selalu menjadi penyuplai utama kelompok teroris. Ironisnya, sampai saat ini tidak ada aturan hukum yang menetapkan NII sebagai teroris. Disinilah pentingnya pemerintah mengeluarkan aturan hukum yang menetapkan NII sebagai organisasi teroris.

Dengan begitu, aparat keamanan bisa menindak setiap bentuk kegiatan apalagi manuver pihak-pihak yang terkait dengan NII. Memberikan kebebasan NII untuk eksis dan bermanuver sama saja dengan membiarkan bangsa ini berada dalam ancaman ekstremisme dan terorisme yang suatu saat bisa bangkit merebut kekuasaan.

Facebook Comments