Amaliah Darah

Amaliah Darah

- in Narasi
1704
0
Amaliah Darah

Tindakan biadab dan menciderai nilai-nilai kemanusiaan masih terus terjadi di sekitar kita. Kelompok terorisme -yang menjadikan kekerasan sebagai tuhannya, pembunuhan sebagai kitab sucinya, dan kebencian sebagai jalan hidupnya- terus menyebarkan ketakutan. Kekejiannya pun telah melampaui batas. Perilaku yang tidak bisa dibiarkan karena akan membuat peradaban manusia jatuh ke dalam jurang kehancuran. Indonesia, yang dalam beberapa bulan ini nyaman dari ganguan teroris, tiba-tiba kembali dikejutkan dengan serangan-serangan yang dilakukan gerombolan teroris. Serangan yang sangat keji dan tanpaknya hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang tidak waras.

Merujuk pada Fatwa MUI No. 3 Tahun 2004 tentang Terorisme, disebutkan bahwa terorisme telah memenuhi unsur tindak pidana (jarimah) hirabah dalam khazanah fikih Islam. Pelaku hirabah (almuharib) adalah mereka yang mengangkat senjata melawan orang banyak dan menakut-nakuti mereka. MUI juga menjelaskan perbedaan antara terorisme dengan jihad. Terorisme mempunyai sifat merusak (ifsad) an anarkis (faudha), bertujuan menciptakan rasa takut dan atau menghancurkan pihak lain, dan dilakukan tanpa aturan. Sementara jihad adalah upaya perbaikan (ishlah), tujuannya menegakkan agama Allah, dan dilakukan dengan aturan yang ditentukan oleh syariat. Pesan penting dari fatwa MUI ini, hukum bom bunuh diri adalah haram karena merupakan tindakan keputusasaan (al-ya’su) dan mencelakakan diri sendiri (ihlak an-nafs), baik dilakukan di daerah damai (dar al-salam) mauapun di wilayah perang (dar al-harb).

Dari penjelasan di atas, sangat jelas bahwa teror bom yang belakangan marak di sekitar kita bukan masuk dalam kategori jihad. Rentetan kejadian tersebut adalah tindakan terorisme yang haram dilakukan. Sama sekali tidak ada dasar mengatakan aksi bunuh diri dengan bom adalah jihad. Ajaran Islam melarang untuk menghancurkan tempat ibadah, membunuh wanita dan anak-anak, dan beragam kerusakan lainnya. Maka para pelaku teror harus diperangi hingga ke akar-akarnya. Dan umat Islam harus satu suara untuk mengutuk beragam kejadian teror itu.

Ironisnya, di tengah beragam kesedihan dan kedukaan para korban terorisme, ternyata masih ada pihak yang terus memanas-manasi suasana dengan beragam informasi yang cenderung menyesatkan. Bahkan muncul juga berita-berita bohong dan terkesan sangat provokatif. Misalnya, kerusuhan di Mako Brimob disebut sebagai rekayasa belaka. Ada juga yang berpandangan isu terorisme sengaja dipelihara untuk mendapatkan bantuan. Termasuk pandangan tidak berdasar bahwa kelompok teroris sengaja dimunculkan untuk menutupi isu lainnya. Lebih miris lagi ada tokoh agama yang membenarkan tindakan para teroris sembari memberi sebutan yang tidak pantas kepada petugas kepolisian. Jika kita terpengaruh dengan beragam opini tersebut, maka sama saja kita menutup mata terhadap eksistensi dan kekejian yang secara tegas dilakukan oleh para teroris.

Para provokator di media sosial ini tentu menjadi tambahan kekuatan bagi kelompok teroris. Sebab para teroris seolah mendapatkan dukungan dari masyarakat (meskipun dukungan ini sebenarnya semu dan sangatlah konyol). Provokator dan para pemanipulasi informasi yang selalu menyembunyikan fakta dan berkilah bahwa terorisme tidak ada di Indonesia. Selain itu, banyak juga yang menyebarkan informasi berisi kebencian dan kekerasan kepada para korban teroris. Alih-alih memberi dukungan dan simpati kepada para penderita ledakan bom, banyak netizen yang justru membenarkan aksi terorisme sekaligus mendukungnya. Seperti mendoakan para pengebom mati syahid, menganggap teroris sebagai pahlawan, dsb.

Mencermati beragam fenomena di atas, maka sudah saatnya kita mulai menahan diri untuk tidak mudah berkomentar dan menganalisis peristiwa teror tanpa dasar argumentasi yang jelas. Termasuk untuk tidak mudah melakukan ujaran kebencian dan kekerasan yang akan menguntungkan kelompok teroris. Jika banyak netizen maupun masyarakat di dunia nyata yang gemar menyebarkan kebencian dan kekerasan, maka akan memperkuat kelompok teroris. Meskipun hal tersebut tidak secara langsung berkontribusi bagi meningkatnya aksi-aksi teror, tetapi minimal mampu menyebarkan paham-paham radikal dan kebencian di sekitar. Hal ini yang sangat berbahaya. Sebab pemikiran radikal dan kebencian atas sesama bisa menjadi pemantik seseorang melakukan aksi teror, minimal mendukung tindakan kekerasan.

Memasuki bulan Ramadan, mari kita jadikan sebagai sarana menahan diri dari hal-hal yang tidak bermanfaat. Melatih diri kita untuk mengamalkan ajaran Islam yang sebenarnya. Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Islam yang mengasihi. Islam yang mendamaikan. Islam yang menyejukkan siapapun dengan pancaran nilai-nilai cinta kasih. Bukan Islam yang gemar mencaci maki, mengebom, membunuh, merusak, membenci, dan gemar kekerasan.

Facebook Comments