Slogan “Islam Yes, Kafir No” menjadi perbincangan hangat publik. Bermula dari kejadian di SDN Timuran Kota Yogyakarta, ketika seorang pembina Pramuka mengajarkan yel-yel anak soleh yang diakhiri dengan kalimat “Islam Yes, Kafir No”. Salah seorang wali murid yang mendengarnya pun mengadukan hal itu ke pihak sekolah. Kabar itu pun sontak viral di tengah masyarakat.
Bagi orang yang 10 tahun terakhir tinggal di Yogkarta, yel-yel anak soleh yang disisipi slogan “Islam Yes, Kafir No” itu bukan barang baru bagi saya. Di masa awal kuliah (tahun 2008), saya tinggal di sebuah kamar kos yang hanya seperlemparan batu dari masjid. Nyaris saban sore, saya mendengar anak-anak TPA (taman pendidikan al Quran) fasih meneriakkan yel-yel itu dan diakhiri dengan pekikan takbir.
Belakangan, fenomena itu semakin liar dan kian tidak terkendali. di Kelompok Bermain (Play Group) atau Taman Kanak-kanak (TK) terutama yang dikelola yayasan atau organisasi Islam bercorak konservatif, slogan itu telah menjadi menu wajib bagi anak-anak. Fenomena ini tentu memperihatinkan. Anak-anak yang polos dan lugu dicekoki slogan yang bisa jadi tidak mereka pahami.
Selain itu, fenomena ini tentu berpotensi menimbulkan segregasi sosial. Dalam leksikon sosiologi, segregasi sosial dimaknai sebagai proses pemisahan masyarakat ke dalam kelompok-kelompok berdasar ras, etnis, dan agama dengan berbagai macam cara, termasuk kekerasan. Segregasi sosial umumnya dilatari oleh kegagalan masyarakat dalam mengelola perbedaan dan keanekaragaman budaya maupun agama.
Masyarakat tidak mampu memahami perbedaan dan keanekaragaman sebagai keniscayaan yang terberikan (given) oleh Tuhan. Sebaliknya, masyarakat cenderung membesar-besarkan perbedaan sehingga bereskalasi menjadi perpecahan dan konflik. Idealnya, di tengah kondisi perbedaan dan keanekaragaman itu, masyarakat hendaknya mencari titik temu yang bisa mempersatukan individu atau kelompok yang berbeda.
Dalam konteks agama, segregasi sosial dipicu oleh adanya pendangkalan dan penyempitan pemahaman keagamaan. Agama dipahami tidak lebih dari sebuah simbol dan identitas politik, alih-alih nilai dan spirit relijiusitas. Akibatnya, agama menjelma menajdi sekat pemisah dan kerap dijadikan alat untuk menyingkirkan kelompok yang berbeda.
Bahaya Pemahaman Dikotomik
Jika dianalisa secara lebih komprehensif, fenomena maraknya slogan “Islam Yes, Kafir No” iu dilatari oleh kerancuan sebagian umat muslim dalam memahami istilah Islam dan kafir. Sebagian umat Islam kadung memahami istilah itu semata sebagai kategori teologis. Istilah Islam merujuk pada kelompok yang menganut agama Islam sedangkan kafir merujuk pada individu atau golongan yang memeluk agama di luar Islam. Semua kelompok non-muslim entah itu Yahudi, Nasrani, Hindu, Budha, Konghucu dan lain sebagainya dikategorikan sebagai kafir. Pembedaan itu lah yang selama ini dipegang teguh oleh sebagian kaum muslim.
Baca Juga :Mencegah Intoleransi di Sekolah
Ironisnya lagi, pola pikir dikotomistik yang membagi masyarakat ke dalam dua kategori,Islam dan kafir itu kerap diwarnai oleh sentimen kebencian. Sebagian muslim kerap mengidentifikasi semua individu atau kelompok di luar Islam sebagai musuh dan ancaman bagi eksistensi Islam. Cara pandang yang demikian ini sebenarnya tidak merepresentasikan ajaran dan sejarah Islam.
Dari perspektif teologis, tidak semua golongan di luar Islam dikategorikan sebagai kafir. Al Quran sendiri menyebut kaum Yahudi dan Nasrani sebagai Ahlul Kitab yang berkedudukan sama dengan Islam. Bahkan, Nabi Muhammad sendiri bersabda bahwa belum sempurna keimanan seorang muslim jika ia tidak mengakui kebenaran yang terkandung dalam Taurat dan Injil sebagai kitab suci kaum Yahudi dan Nasrani.
Sementara dari perspektif historis, istilah Islam dan kafir tidak hanya berkembang sebagai kategori teologis, namun juga berkembang menjadi kategori sosiologis dan politis. Istilah Islam dan kafir dalam konteks kekhalifahan Islam ialah kategori sosial-politik yang dibuat untuk membedakan hak dan tanggung jawab penduduk yang tinggal di kawasan Islam. Fiqih siyasah (politik) di masa kekhalifahan Islam mengenal tiga kategori penduduk atau warganegara.
Pertama warganegara atau penduduk beragama Islam yang diberikan hak dan kedudukan istimewa sebagai warga kelas satu. Mereka memiliki hak hidup penuh yang dijamin oleh pemerintah dan dibebaskan dari membayar pajak jizyah. Kedua adalah kafir dzimmi, yakni golongan non-Islam yang bersedia hidup berdampingan dan tidak memusuhi kaum muslim. Golongan ini diberikan hak hidup di kawasan muslim namun harus membayar pajak jizyah.
Ketiga adalah kafir harbi, yakni golongan di luar Islam yang memerangi kaum muslim. Dalam perspektif fikih politik klasik, golongan ini halal darahnya alias boleh diperangi. Dalam perkembangan sejarah Islam, kategorisasi Islam dan kafir sebenarnya lebih sering berkonotasi sosio-politis ketimbang teologis. Ironisnya, fakta sejarah ini acap luput diperhatikan oleh kaum muslim kontemporer. Alhasil, mereka kerap memahami Islam dan kafir melulu dari perspektif teologis.
Paradigma “Citizenship”
Di dunia Islam modern-kontemporer ini, konsep Islam dan kafir sebagai kategori teologis agaknya harus didekonstruksi. Pasalnya, kondisi sosial-politik masyarakat muslim kontemporer sudah jauh berbeda dengan kondisi masyarakat muslim di era kekhalifahan. Seperti diketahui, sebagian besar masyarakat Islam saat ini hidup di negara berbentuk nation–state (negara bangsa) yang tidak berdasarkan hukum Islam. Seperti halnya Indonesia, negara berpenduduk mayoritas muslim terbesar di dunia yang berbentuk republik demokrasi yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.
Kondisi sosial, politik dan budaya masyarakat muslim di Indonesia saat ini tentu jauh berbeda dengan masyarakat muslim di era kekhalifahan. Oleh karena itu, dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasar pada UUD 1945 dan Pancasila, istilah Islam dan kafir agaknya tidak bisa lagi digunakan sebagai kategori teologis maupun sosial-politik. Dalam konteks negara bangsa, idealnya tidak ada istilah Islam dan kafir, lantaran semua warganegara memiliki hak, kedudukan sekaligus tanggung jawab yang sama di muka hukum.
Dalam perspektif negara bangsa, relasi sosial antar masyarakat idealnya dilandasi oleh paham kewarganegaan (citizenship). Paham kewargaan berangkat dari satu keyakinan bahwa semua penduduk yang bermukim di satu wilayah negara yang sama dipersatukan oleh kehendak kolektif untuk taat pada asas hukum yang telah disepakati sekaligus memiliki hak dan tanggung jawab yang setara.
Kewargaan merupakan bagian penting dari paham kebangsaan (nationalism). Spirit kewargaan dan kebangsaan diikat bukan oleh identitas keagamaan melainkan oleh kontrak sosial (social contract). Dalam perspektif kewargaan modern, setiap individu dan kelompok yang bernaung dalam sebuah negara diwajibkan untuk berpartisipasi aktif dalam bidang ekonomi, politik, sosial dan budaya.
Nilai-nilai kewargaan (civic values) inilah yang seharusnya kita kembangkan di Indonesia. Seperti kita tahu, Indonesia merupakan negara yang pluralistik, baik dari sisi agama maupun budaya. Di tengah perbedaan dan keragaman agama dan budaya itulah kita dituntut mampu untuk mencari titik temu agar masing-masing entitas bisa menjalin kerjasama demi kemajuan bangsa. Bukan sebaliknya, sibuk membesar-besarkan perbedaan dan menarik garis batas yang tebal antara satu kelompok dengan kelompok lainnya.