Jamaah Ansharud Daulah kembali berulah. Kali ini, mereka mengirim surat berisi ancaman terhadap Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Bandung. Surat yang ditujukan untuk Rektor Bandung itu berisi permintaan pembatalan acara wisuda tanggal 15-17 November 2024. Jika perintah itu tidak dituruti, mereka mengancam akan meledakkan bom di lokasi wisuda.
Teroris JAD juga melarang pihak Unpar menghubungi Polisi dan mengabarkan pada media terkait ancaman bom itu. Tentu saja, pihak Unpar tidak tunduk pada seruan kaum teroris itu. Mereka menghubungi Polisi yang lantas menyisir lokasi wisuda. Nihil ditemukan bahan peledak dan benda mencurigakan. Wisuda pun tetap digelar.
Di titik ini, kita patut mengapresiasi langkah berani Unpar yang tidak begitu saja mengikuti perintah teroris JAD. Bagaimana pun juga, salah satu bentuk perlawanan terhadap ancaman teroris adalah menunjukkan bahwa kita tidak takut. Ketika kita takut, maka misi teroris sebenarnya sudah tercapai. Bukankah agenda utama teroris itu adalah menciptakan ketakutan dan kepanikan publik?
Di saat yang sama kita patut membaca peristiwa ancaman terhadap Unpar ini sebagai bentuk teror dan intimidasi terhadap kelompok minoritas. Jika dipetakan, sasaran kelompok teroris seperti JAD ini memang ada tiga. Pertama, simbol-simbol asing (Barat) seperti kedutaan besar Amerika Serikat atau negara-negara Eropa dan Barat lainnya, hotel jaringan asing, atau titik-titik dimana banyak warga asing berkumpul.
Simbol asing menjadi target serangan teroris karena keyakinan bahwa semua yang berafilisasi dengan Amerika, Eropa, atau Barat pada umumnya adalah jahat, kafir, zionis, dan sepenuhnya memusuhi Islam.
Kedua, kantor kepolisian, pos polisi, atau aparat kepolisian. Sudah lama polisi menjadi sasaran terorisme, karena dianggap sebagai pihak yang paling menghalangi agenda teroris. Serangan terhadap polisi terjadi secara masif dalam satu dekade terakhir ketika jaringan teroris diburu dan diberangus habis aparat. Jadi, ada semacam pelampiasan dendam terhadap aparat keamanan.
Tiga Alasan Minoritas Menjadi Sasaran Teror
Ketiga, kelompok minoritas agama, terutama Kristen. Kaum minoritas Kristen dianggap sebagai musuh Islam, karena menjadi hambatan penegakan syariah Islam secara kaffah. Kelompok teroris beranggapan bahwa selama kaum minoritas agama masih eksis, maka penerapan syariah secara formal dan menyeluruh akan menemui hambatan. Maka, mereka menarget kaum minoritas sebagai sasaran teror.
Kelompok agama minoritas menjadi sasaran teror karena setidaknya tiga alasan. Pertama, seperti disebut di atas, kelompok agama minoritas dianggap menghalangi penerapan syariah Islam. Kedua, kelompok minoritas cenderung tidak punya posisi tawar yang kuat. Jumlah mereka sedikit dan kerap kali dipaksa tunduk oleh kemauan kaum mayoritas. Posisi lemah itu menjadi sasaran empuk kaum teroris.
Ketiga, banyak simbol kaum minoritas seperti tempat ibadah atau lembaga pendidikan yang tidak mendapat penjagaan yang ketat. Beda halnya dengan simbol asing (Barat) atau kantor kepolisin yang sulit ditembus teroris. Simbol agama minoritas seperti gereja atau sekolah dan universitas Kristen cenderung longgar sehingga rawan mendapat serangan teror.
Pola pikir kaum teroris ini jelas bertentangan dengan ajaran Islam sebagaimana dipraktikkan oleh Rasulullah dan para sahabat. Di masa Rasulullah, relasi Islam dengan agama lain terbilang harmonis.
Dengan Yahudi dan Nasrani, Islam terbiasa hidup berdampingan dan berbagi ruang publik bersama. Bahkan, ketika Islam melakukan ekspansi wilayah ke daerah yang berpenduduk non-muslim, tidak ada paksaan bagi kaum Yahudi maupun Kristen untuk berpindah ke Islam.
Jangan Takut pada Ancaman Teror
Ancaman teror terhadap Unpar ini hanyalah secuil dari fenomena intoleransi dan kekerasan terhadap kaum minoritas oleh kelompok ekstrem. Dalam konteks ini, bisa jadi JAD sebenarnya tengah mengirim pesan ke simpatisannya agar melakukan tindakan serupa; mengintimidasi setiap kegiatan kelompok agama lain. Sebelum peristiwa ini terjadi, kita kerap dihadapkan pada peristiwa pembubaran acara keagamaan kelompok minoritas. Pelakunya bisa ditebak, yakni kelompok muslim konservatif-radikal.
Ancaman teror pada Unpar ini kemungkinan besar adalah sebuah pernyataan kelompok teroris bahwa mereka masih ada dan akan terus menebar teror pada siapa pun yang dianggap musuh. Ancaman itu tentu tidak boleh disikapi permisif. Di satu sisi, masyarakat tidak boleh takut dan tunduk pada ancaman teroris. Di sisi lain, kita juga tidak boleh menurunkan kewaspadaan. Sekecil apa pun ancaman teror dan kekerasan tetap harus ditanggapi serius.
Bagi aparat keamanan, ancaman teror JAD ke Unpar kiranya menjadi semacam wake-up call agar tidak boleh mengendurkan kesiapsiagaan melawan teror. Terorisme masih ada, dan mereka kian berlipat ganda.
Indoktrinasi dan rekrutmen teroris kini bisa dilakukan melalui internet dan media sosial. Radikalisasi menyusup ke ruang privat yang nyaris tidak bisa dikontrol sepenuhnya oleh negara. Disinilah peran penting institusi domestik alias keluarga untuk memastikan generasi muda tidak terpapar ideologi radikal.