Dibubarkannya ormas paramiliter Front Pembela Islam (FPI) pada 2020 sebetulnya cukup mengejutkan, terlebih karena popularitas Rizieq Shihab serta militansi simpatisan FPI yang ternyata tidak cukup tangguh untuk menghalangi ketegasan pemerintah dalam mensikapi pergerakan mereka.
Lini masa sejarah mengungkap rekam jejak FPI sebagai organisasi yang kerap kali membuat onar di tengah masyarakat, mulai dari awal dulu tahun 2000-an ketika banyak anggota FPI yang terlibat aksi-aksi vigilante, persekusi dalam sweeping yang melanggar hukum.
Hal tersebut tidak terlepas dari pengaruh imam besar mereka, Habib Rizieq Shihab, yang bahkan jika ia berkata 2+2 sama dengan 5, mereka tetap benarkan. Sejak bubarnya HTI, dan kemudian FPI, muncul pertanyaan mengenai sistem demokrasi Indonesia yang katanya mampu mengakomodir kebebasan berpendapat, termasuk mendirikan organisasi masyarakat. Apakah membubarkan ormas-ormas tidak merusak nilai demokrasi?
Merespon pertanyaan tersebut, Declaration of Human Rights yang dikeluarkan oleh PBB pada tahun 2015 yang disepakati oleh negara-negara dunia dan ditandatangi oleh BAN Ki-moon menjelaskan bahwa negara harus memberikan hak dan kebebasan bagi masyarakat untuk berserikat dan berkumpul dalam pasal 20.
Namun, dalam pasal 29, hak berserikat dan berkumpul tersebut masih bisa dibatasi dengan batasan tertentu, yaitu organisasi bisa dibatasi dalam rangka untuk melindungi hak dan kebebasan orang lain, dalam rangka menjaga moralitas, dan yang terakhir menjaga ketertiban publik dan kesejahteraan umum.
Dalam arti lain, pemerintah bisa melakukan tindakan terhadap suatu organisasi, jika organisasi tersebut membahayakan kepentingan rakyat. Faktanya, Amandemen UUD 1945 juga mempunyai nafas serupa mengenai hal ini, yaitu pada pasal 28E di mana negara memberikan kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat bagi warga negara, namun tetap ada kemungkinan untuk diberi batasan dengan pertimbangan untuk mengakui dan menghormati hak orang lain, untuk menegakkan pertimbangan moral dan nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban, pada pasal 28J ayat 2.
Tentu jika melihat track record FPI dalam rekam sejarah, pembubaran tersebut sudah sesuai dengan prosedur pembatasan organisasi, baik dari PBB maupun amandemen UUD 1945. Tidak hanya FPI, bahkan HTI adalah organisasi yang dilarang di berbagai negara besar, seperti Turki, Jerman, Mesir, Cina, Pakistan, Australia.
Jika melihat dalam Anggaran Dasar Front Pembela Islam (FPI), FPI memang pada dasarnya sangat anti terhadap pemerintahan Indonesia. FPI memang sudah bubar. Tetapi secara de facto, ia hanya bersalin rupa menjadi ormas baru bernama Front Persaudaraan Islam. Metamorfosis ini tidak merubah apa-apa kecuali nama tengahnya. Atributnya sama. Imam besarnya sama. Militansinya sama.
Sampai sekarang sempalan FPI dan HTI sangat intens mengkampanyekan visi misinya di media sosial yaitu penerapan syariat Islam yang kaffah di bawah naungan Khilafah Islamiyah dalam Manhaj Nubuwwah.
Istilah ini nampak tidak lagi asing karena ambisi ini juga yang dikoar-koarkan oleh HTI dalam kampanya khilafahnya. Konsekuensi dari proyek khilafah ini pada akhirnya akan memberikan tempat dan kekuasaan seluas-luasnya bagi hukum Islam, dan seluruh masyarakat Indonesia harus tunduk di bawah hukum Islam, bahkan warga non-Muslim sekalipun.
Jangan disalahpahami bahwa argumen barusan adalah delegitimasi hukum Islam. Prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia ini juga merupakan ejawantah dari hukum Islam itu. “Hukum” Islam ala HTI tak lebih dari formalisasi hukum Tuhan yang eksklusif dan ritualistik semata.
Termasuk misalnya pelarangan bank, kewajiban potong tangan kepada pencuri, atau bahkan rajam bagi yang melakukan seks di luar nikah. Sama dengan HTI, FPI merujuk pada periode khilafah di masa Nabi hingga era Khulafaur Rasyidin pasca wafatnya Nabi.
Tentu masyarakat Indonesia ingat ketika Rizieq Shihab mengancam hendak memenggal kepala seorang polisi yang bersikap tidak adil, ancaman yang menurutnya dilandasi oleh al-Qur’an dan Hadis. Landasan itu tentu konsekuensi lain dari khilafah, yaitu asas peraturan dan kebijakan pemerintahan harus berdasar pada al-Qur’an dan hadis, dan penafsirannya akan ditentukan oleh sang khalifah dan para elit.
Lalu siapa khalifah yang akan ditunjuk oleh HTI atau FPI jika khilafah sudah berdiri? Apakah Rizieq Shihab? Atau Ismail Yusanto? Apa yang akan diharapkan untuk umat Islam ke depan jika khalifahnya saja sudah sering meresahkan masyarakat.
Lagipula dasar hukum Islam bukanlah al-Qur’an dan Hadis, namun al-Qur’an dan sunnah. Hadis hanya berbicara teks, sedangkan sunnah berbicara konteks. Inilah yang tidak dimiliki oleh FPI, konteks pemerintahan yang memadai untuk negeri sebesar Indonesia.
Gus Dur pernah secara sambil lalu berkata untuk membubarkan FPI karena Gus Dur melihat adanya potensi kerusuhan dalam kehidupan bangsa Indonesia ke depan jika organisasi militan lokal ini masih beroperasi. Benar saja, FPI banyak membuat kerusuhan dan keresahan bagi masyarakat negeri.
Kekerasan, intimidasi ormas, propaganda ideologi khilafah menjadi alasan FPI dan HTI sangat urgent untuk dibubarkan. Pembubaran ini tidak menurunkan derajat demokrasi di Indonesia, justru menyelamatkan NKRI dari virus, sehingga warganya tetap menjadi warga negara yang sehat, berakal, dan berperikemanusiaan.
Memberangus FPI & HTI dan apapun bentuk metamorfosanya adalah upaya bangsa Indonesia untuk menaikkan derajatnya dengan melindungi moral dan keamanan bangsa Indonesia, keamanan nasional dan keamanan spiritual.