Bom bunuh diri di depan Mapolsek Astana Anyar, Selasa pekan lalu kembali membuat kita tersadar bahwa jaringan teroris itu masih eksis di negeri ini. Mereka memang tiarap, namun belum benar-benar musnah. Sel-sel mereka memang tidur, namun masih aktif dan siap dibangkitkan sewaktu-waktu. Bom Astana Anyar kiranya merupakan semacam sinyal bagi sel-sel atau jaringan lain agar melakukan aksi serupa. Di titik inilah kita harus meningkatkan kewaspadaan kita.
Jika diamati, dalam dua dekade belakangan, aksi-aksi teror kian kehilangan orientasi alias tujuannya. Di awal mencuatnya gerakan terorisme di Indonesia, sasaran utama kelompok teroris umumnya ialah simbol-simbol superioritas Barat (Amerika Serikat). Misalnya hotel yang merupakan jaringan internasional asal Amerika Serikat. Atau kantor Kedutaan Besar Amerika Serikat. Teror juga banyak diarahkan pada institusi-institusi ekonomi (misalnya perusahaan) yang berafiliasi dengan pemerintah Amerika Serikat.
Hal ini tentu bukan tanpa alasan. Bagi kelompok ekstrem Islam, Amerika Serikat ialah representasi dari musuh Islam yang sesungguhnya. Belakangan, kecenderungan itu mulai bergesera. Pasca gencarnya aparat keamanan memburu teroris, mengungkap jaringannya, dan menyeretnya ke muka hukum, sasaran atau target terorisme kian mengecurut pada aparat keamanan. Polisi dalam hal ini dianggap sebagai kekuatan yang menghalani agenda-agenda kelompok teror sehingga harus dienyahkan.
Gerakan Teroris Kehilangan Orientasi
Kondisi kehilangan orientasi inilah yang disebut oleh Grant Wradlaw sebagai anomali terorisme. Dulu, yang disebut jihad adalah perang melawan kekuatan Amerika Serikat, Israel dan sekutunya yang dinilai menindas umat Islam. Sekarang, mengebom kantor polisi di sebuah kecamatan pun diklaim jihad. Dulu, yang dianggap kafir itu adalah kekuatan yang memerangi umat Islam di negara-negara kaum muslim. Sekarang, semua non-muslim dan kelompok yang berbeda dicap kafir.
Dulu, yang dipersepsikan sebagai thaghut itu adalah kekuatan global yang bersekutu untuk menghancurkan umat Islam. Hari ini, cap thaghut itu justru dialamatkan pada pemerintahan sendiri beserta aparaturnya. Inilah anomali terorisme, yakni ketika gerakan teror mulai kehilangan arah dan tujuannya. Meski demikian, ironisnya masih banyak umat Islam yang terpengaruh pada propaganda radikalisme, ekstremisme, dan terorisme.
Apa yang dibutuhkan umat saat ini ialah reformulasi ajaran Islam terutama terkait rumusan jihad, kafir, dan thaghut. Harus diakui bahwa jihad, kafir, dan thaghut memang ajaran Islam. Namun, tiga hal itu telah mengalami distorsi makna yang menyebabkan maraknya intoleransi, kekerasan, bahkan teror mengatasnamakan Islam. Reformulasi menjadi penting agar konsep jihad, kafir, dan thagut kembali ke makna awalnya.
Konsep jihad misalnya, sebenarnya tidak merujuk pada perang. Konsep jihad dipahami sebagai perang baru dimulai pada Dinasti Ummayyah dan berlanjut pada Abbasiyah. Kepentingan Dinasti Ummayah dan Abbasiyah yang ingin meluaskan kekuasaan secara imperialistik melahirkan konsep jihad yang politis dan monolitis. Demi kepentigan kekuasaan, Dinasti Ummayyah dan Abbasiyyah mendoktrinkan bahwa berperang membela kekhalifahan ialah jihad.
Padahal, jika merujuk pada Alquran, kata jihad tidak selalu berorientasi pada perang. Alquran memiliki dua kata yang merujuk pada perang, yakni jihad dan qital. Uniknya, secara kuantitas kata qital muncul lebih sering ketimbang jihad. Merujuk pandangan Fazlur Rahman, ayat-ayat jihad yang turun di era Makkah memang bernuansa ajaran perang secara ofensif. Namun, ayat-ayat jihad yang turun di era Madinah cenderung bernuansa defensif alias mempertahankan diri.
Distorsi makna juga terjadi pada konsep kafir. Alquran sebenarnya memiliki istilah “Ahlul Kitab” untuk menyebut umat Nasrani dan Yahudi. Istilah kafir dalam masa perkembangan awal Islam dipersepsikan kepada kelompok non-muslim, namun tanpa tendensi untuk merendahkan, mendiskriminasi, apalagi menjurus kekerasan. Namun, dalam perkembangannya, konsep kafir kerap dijadikan sebagai alat untuk menjustifkasi kekerasan dan teror terhadap kelompok non-Islam.
Demikian halnya dengan konsep thaghut. Di dalam Alquran, makna thaghut sebenarnya merujuk pada kekuasaan yang dzalim dan menindas umat. Namun, makna itu perlahan mengalami penyelewenangan. Tafsir yang sekarang berkembang saat ini ialah semua pemerintahan yang tidak menerapkan syariah dan menegakkan khilafah akan dicap sebagai thagut. Distorsi pemaknaan itu harus dibayar mahal dengan tumbuh-suburnya praktik intoleransi, kekerasan, dan teror di dunia Islam.
Pentingnya Reinterpretasi Ajaran Islam
Ajaran Islam memang sebuah hal yang tetap dan tidak bisa diubah-ubah. Apa yang termaktub dalam Alquran dan hadist tidak dapat dikurangi atau ditambahi. Namun demikian, tafsir atas ajaran Islam itu harus terus-menerus direformulasi agar tetap relevan dan kontekstual dengan semangat zaman. Diktum Islam sebagai rahtaman lil alamin akan terjaga manakala ajarannya senantiasa diperbarui penafsirannya.
Reformulasi makna jihad, kafir, dan thagut sangat urgen kita lakukan saat ini. Perintah jihad yang relavan saat ini bukanlah menyerang sesama umat atau anak bangsa, melainkan menjaga kedaulatan bangsa dna negara dari ideologi asing. Kita harus mengembangkan jihad defensif sebagaimana diajarkan Rasulullah semasa kepemimpinannya di Madinah.
Selain itu, kita harus mereformulasi pemaknaan kafir dan thaghut. Di era negara bangsa seperti saat ini, golongan sebutan kafir untuk kelompok non-Islam kiranya tidak lagi relevan digunakan. Demikian pula pemerintahan yang tidak menerapkan syariah secara formalistik dan tidak mengadaptasi khilafah ke dalam pemerintahannya juga bukan berarti thaghut.