Dekonstruksi Makna Jihad, Kafir, dan Thaghut dalam Paradigma Terorisme

Dekonstruksi Makna Jihad, Kafir, dan Thaghut dalam Paradigma Terorisme

- in Narasi
370
0
Dekonstruksi Makna Jihad, Kafir, dan Thaghut dalam Paradigma Terorisme

Terorisme dikategorikan sebagai kejahatan kemanusiaan luar biasa. Ini lantaran terorisme berkaitan dengan keyakinan ideologis dan tafsir keagamaan yang sesat. Setidaknya ada konsep yang dipakai kaum teroris untuk menjustifikasi tindakan barbarnya. Pertama, mereka mengklaim tindakannya sebagai jihad. Klaim ini sebenarnya rancu. Di dalam Islam jihad tidak melulu dimaknai sebagai perang. Di dalam Alquran, istilah perang lebih sering disebutkan dalam kata qital ketimbang jihad.

Kedua, teroris kerap menjadikan minoritas dan golongan yang berbeda pandangan sebagai sasaran teror lantaran menganggapnya sebagai kaum kafir yang halal darahnya. Pandangan ini berakar dari fiqih klasik yang membagi warganegara ke dalam tiga kategori, yakni muslim, kafir harbidan kafir dzimmi.

Muslim adalah warganegara kelas utama yang wajib dilindungi. Kafir harbi adalah non-muslim yang memusuhi Islam sehingga layak diperangi. Sedangkan kafir dzimmiialah non-muslim yang tidak memusuhi Islam yang mendapat perlindungan dengan membayar jizyah. Konsepsi ini disimplifikasi oleh kelompok teroris dengan mengeneralisasi semua non-muslim sebagai kafir harbi.

Ketiga, dalam alam pikir kelompok teroris, konsep negara ideal adalah negara Islam (daulah islamiyyah), yang menerapkan hukum syariah, dan menjalankan pemerintahan khilafah. Konsekuensi dari pandangan itu ialah mereka akan mencap negara demokrasi yang tidak berdasarkan hukum agama sebagai negara thaghutyang zalim terhadap umat Islam.

Paradigma ini lantas melahirkan sikap benci dan anti-pada pemerintahan yang sah. Dalam konteks keindonesiaan, bentuk negara NKRI, falsafah Pancasila dan konstitusi UUD 1945 akan dianggap sebagai representasi thaghut. Demikian pula para aparaturnya yang akan dicap sebagai ansharuh thaghut.

Membongkar Kerancuan Berpikir Kelompok Teroris

Tiga kerancuan berpikir itulah yang selama ini menjadi faktor suburnya terorisme di Indonesia. Propaganda jihad yang disalahtafsirkan sebagai perang terbuka melawan musuh membuat aksi teror kerap diglorifikasi sebagai perang suci (holy war). Kebencian pada minoritas yang dipersepsikan sebagai kafir menjadi bahan bakar melakukan kekerasan dan teror.

Di saat yang sama, persepsi bahwa negara dan pemerintahan yang tidak berdasar pada syariah ialah thaghut mendorong timbulnya kebencian pada aparatur pemerintahan. Alhasil, aparatut negara, utamanya aparat keamanan rentan menjadi sasaran teror.

Memberantas terorisme mustahil dilakukan tanpa membongkar sesat pikir yang melatarinya. Disinilah pentingnya kita mendekonstruksi makna jihad, jafir, dan thaghut ala kaum teroris. Di saat yang sama kita perlu memproduksi tafsir jihad, kafir, dan thaghut yang kontekstual dengan spirit negara-bangsa yang multikultur dan multireliji. Hal ini penting untuk mengedukasi dan mencerahkan umat agar tidak mudah terjerumus ke dalam ideologisasi dan radikalisasi keagamaan.

Dalam konteks negara bangsa, kita perlu membongkar praktik jihad yang memiliki kecenderung militeristik bahkan destruktif. Konsep jihad dengan mengangkat senjata, berperang, dan menimbulkan kerusakan kiranya tidak lagi relevan dengan konteks ruang dan waktu umat muslim Indonesia saat ini. Seperti kita tahu, umat Islam Indonesia hari ini hidup aman dan damai, berdampingan dengan kelompok lain, serta diperintah oleh rezim yang dipilih langsung melalui mekanisme demokratis.

Memproduksi Tafsir Baru yang Relevan dan Kontekstual

Ditinjau dari sisi manapun, tidak ada satu pun ancaman fisik yang mengganggu umat Islam. Problem keumatan saat ini ialah hal-hal yang menyangkut urusan sosial, seperti tertinggalnya kita dalam pendidikan, belum terpenuhinya pemerataan kesejahteraan, dan sejenisnya. Berangkat dari realitas itu, konsepsi jihad yang kontekstual dan relevan dengan situasi Indonesia saat ini ialah jihad kebangsaan. Yakni jihad yang konstruktif, alih-alih destruktif. Jihad yang berorientasi pada peningkatan kualitas dan taraf hidup umat, baik itu dalam hal pendidikan, kesehatan, maupun finansial.

Selain dekontruksi makna jihad, kita juga perlu membongkar penafsiran kaum teroris terhadap konsep kafir dan thaghut. Terminologi muslim dan kafir dalam konteks negara bangsa yang modern dan demokratis sepatutnya ditinggalkan. Di hadapan konstitusi dan Undang-Undang, semua warganegara memiliki kedudukan setara terlepas dari identitas dan status sosialnya. Di era modern seperti saat ini, trikotomi warganegara (muslim, kafir harbi, dan kafir dzimmi) sudah selayaknya ditinggalkan.

Sebaliknya, yang penting kita kembangkan saat ini ialah budaya toleransi dan inklusivitas. Yakni bagaimana menjalin relasi yang setara antar-kelompok agama yang berbeda. Umat Islam sebagai kelompok mayoritas memiliki tanggung jawab untuk mewujudkan solidaritas kebangsaan ini.

Terakhir, dalam konteks pemerintahan, klaim bahwa NKRI dan Pancasila adalah thaghut sudah seharusnya ditinggalkan. Kita perlu membaca ulang sejarah berdirinya NKRI dan perumusan Pancasila. Apakah kemunculan NKRI dan Pancasila itu bertentangan dengan spirit Islam? Tentu tidak. Justru sebaliknya, NKRI dan Pancasila ialah representasi dari perjuangan umat Islam dalam melawan penjajah kala itu.

Arkian, dekonstruksi sesat pikir kaum teroris atas konsep jihad, kafir, dan thaghut ini perlu digaungkan agar umat tidak mudah terjebak dalam narasi propaganda ekstremisme dan radikalisme.

Facebook Comments