Ayat Perang: Pesan Utama untuk Perdamaian

Ayat Perang: Pesan Utama untuk Perdamaian

- in Narasi
2247
0

Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: “Tuhan kami hanyalah Allah”. Sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid- masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (QS. Al-Haj (22): 39-40)

Ayat ini, dalam tafsir Al-Misbah, adalah ayat pertama yang diturunkan terkait perang (al-qital). Ayat ini selalu dijustifikasi oleh mereka yang “salah paham” dan “gagal paham” untuk melakukan jihad dan perang terhadap kaum non-muslim. Umat Islam selalu dikondisikan sebagai “pihak teraniaya”, sehingga harus selalu berperang. Ayat juga ini dijadikan dalil dan dalih membenarkan berbagai aksi kekerasan dan teror.

Kaum yang “gagal paham” terhadap ayat ini menjadikan perang sebagai jalan suci beragama. Hidup beragama selalu dikecilkan gerak dan langkahnya dalam perang. Seolah hidup tanpa perang, seolah tiada sempurna. Masuk Islam secara sempurna, adalah Islam yang suka dan gemar dengan peperangan. Mereka yang belum mau perang, seolah dipersepsikan sebagai Islam yang minimalis, Islam yang tidak mampu mengikuti sunnah Nabi. Dengan dalih perang ini, mereka menganggap dirinya sebagai pewaris sah surga kelak. Makanya, mereka gampang sekali mengafirkan orang Islam lain yang tidak ikut berperang.

Dalih perang ini menjadi momok yang sangat menakutkan. Islam akhirya tampil di publik sebagai agama yang menakutkan. Islam yang ramah dan menyenangkan, akhirnya sirna. Islam yang menakutkan dijadikan sebagai trend kehidupan modern. Dakwah mereka adalah dakwah dengan perang. Dakwah yang ditunggu surga adalah dakwah yang mengabarkan peperangan dan kekerasan. Jalan agama yang menakutkan. Sangat mengkhawatirkan untuk masa depan peadaban.

Pesan Utama Perdamaian

Menurut KH Sahiron Syamsuddin (2013), ayat perang ini harus didudukkan secara proporsional, yakni turun di mana Nabi dan para pengikutnya mulai diizinkan untuk pergi berperang harus dipahami berdasarkan konteks tekstual dan historisnya. Berbasis pada dua konteks tersebut, seseorang bisa mengatakan bahwa peran utama dari ayat-ayat ini bukanlah pergi berperang itu sendiri, akan tetapi menghapus penindasan dan menegakkan kebebasan beragama dan perdamaian. Dengan kata lain, perang hanyalah sebuah alat untuk mewujudkan nilai moral. Ini berarti bahwa perang harus dihindari jika masih ada jalan non-kekerasan yang masih mungkin dilakukan.

Karena itu, Kiai Sahiron, bisa dipahami mengapa dalam Q.S.2:190 memerintahkan kepada Nabi dan para sahabatnya untuk tidak membunuh kaum kafir yang dalam keadaan tidak siap berperang dan mereka yang menyerah secara damai kepada kaum muslim. Diriwayatkan bahwa terkait makna ayat ini, Ibn ‘Abbas menyatakan: “Jangan membunuh perempuan, anak-anak, orang yang sudah tua, dan mereka yang menyerah kepadamu dengan damai.” Dengan melarang mereka membunuh kaum yang ‘lemah’, jelas bahwa membunuh kaum kafir bukanlah tujuan utama dari perang. Pada saat perang pun, Nabi dan para sahabatnya hanya diperbolehkan untuk membunuh kaum kafir yang melakukan penindasan kepada kaum mukmin, mereka yang tidak menerima pluralisme agama dan mereka yang tidak mau menegakkan perdamaian.

Kiai Sahiron menegaskan bahwa penegakan perdamaian adalah salah satu pesan utama dari pembolehan melakukan perang. Perang adalah alat untuk mewujudkan perdamaian, akan tetapi bukan satu-satunya jalan. Karena itu, selama manusia bisa mewujudkan perdamaian tanpa peperangan, mereka tidak diperbolehkan berperang. Islam mengkampanyekan sikap damai kepada seluruh manusia tanpa memperhatikan keragaman agama dan budaya mereka. Sikap damai telah dilakukan Nabi dan para pengikutnya di Madinah, di mana mereka dan masyarakat dari agama lain, seperti Yahudi dan Kristen, hidup berdampingan dalam harmoni. Ada juga ayat lain, sebagaimana disebutkan sebelumnya, yang memerintahkan umat Islam untuk menjaga perdamaian. Atas dasar ini, apa yang seharusnya diambil dari QS. 22: 39-40 adalah bukan kebolehan berperangnya, akan tetapi pesan perdamaiannya.

Kegagalan kaum radikal dalam menafsirkan QS. 22: 39-40 menjadi bukti nyata bahwa Islam yang ditampilkan sangat jauh dari Islam kaffah. Karena itu, agar umat Islam tetap teguh dengan ajaran tauhidnya dan selalu menebarkan kedamaian kepada semuanya, maka kajian konprehensif harus terus digalakkan di semua level kajian. Jangan sampai jama’ah umat Islam di berbagai pelosok justru dibohongi dengan berbagai dalil yang menyesatkan.

Facebook Comments