Penyangkalan dan penegasian terhadap liyan adalah dua sikap yang menghinggapi sebagian besar anak bangsa saat ini. Penyangkalan ini terlihat dengan menganggap bahwa hanya kelompoknya saja yang benar, yang lain adalah salah.
Akibatnya, penegasian terhadap orang/kelompok lain dengan memberikan cap kafir, sesat, bidah, masuk nereka, sembari diiringi tindakan ujaran kebencian, hoax, caci-maki menjadi hal yang lumrah dijumpai, terutama di media sosial.
Kedua sikap ini mengakibatkan dis-harmoni: kedamaian rusak, rasa persaudaraan hilang, toleransi absen, dan tanggujawab sebangsa dan setanah air memudar.
Pendidikan agama –baik formal di bangku sekolah maupun non-formal, di masjid, pengajian, dan khotbah –patut dipertanyakan eksistensinya. Pendidikan agama seharusnya bisa menuntun manusia untuk lebih terbuka, menerima yang lain, toleran, dan suka kedamaian, malah akhir-akhir ini belum kelihatan peran dan sumbangsihnya.
Baca juga :Peran Living Values Sekolah dalam Menanggulangi Intoleransi dan Radikalisme di Sekolah
Bahkan dalam kasus tertentu, pendidikan agama ikut memperkeruh suasana. Sejatinya, agama bila dipahami secara subtantif bisa membanguan karakter anak bangsa yang berdadab, memiliki sikap rahma, guyub, dan harmoni.
Penekanan terhadap pendidikan agama yang subtantif penting, mengingat informasi yang diterima oleh anak banyak sekali bermuatan materi agama. Mulai di sekolah formal di waktu pagi, TPA di sore hari, dan pengajian al-Quran di malam hari. Jika materi yang diberikan justru jauh dari nilai-nilai subtansi agama, yakni persudaraan, persamaan, kasih-sayang, rasa tanggungjawab, maka agama sebagai pembentuk karakter tidak menjalankan fungsinya.
Mengapa pemahaman agama subtantif ini tidak berjalan. Ini bisa diakibatkan oleh dua hal: kurikulum dan guru.
Pertama, kurikulum yang ada di sekolah, masih berkutat di aspek ibdah-ritual. Penekanan terhadap aspek ini sangat dominan dengan pengajaran yang dogmatik-doktriner.
Islam hanya dilihat dari sisi rukun Iman dan rukun Islam saja, tanpa memaknai rahasia, hikmah, faedah di balik itu. Shalat umpanya, diajarkan rukun dan syaratnya secara ketat, tapi nilai-nilai subtantif di dalam shalat itu luput. Shalat sebagai titik awal dan simbol untuk melatih diri untuk disiplin, patuh, ketundukan, dan tanggungjawab malah minim porsinya.
Hal yang sama juga degan puasa. Puasa yang bisa membuat anak didik jadi peka terhadap sosial, bertanggungjawab, berjuang, dan pantang menyerah agak kurang diperhatikan.
Akibat penekanan terhadap aspek ritual-ibadah dan sisi vertikal dari agama itu saja, maka sisi kemanusian, kebudayaan, dan hubungan horizontal sesama manusia mendapatkan porsi yang sedikit. Padahal bila ini ditekankan, maka akan lahir anak bangsa yang bukan saja relegius secara pribadi, malainkan juga relegius secara sosial; bukan saja paham agama, melainkan juga mempunyai karakter kebangsaan dan cinta tanah air.
Kedua, aspek guru. Selama ini terutama di dunia maya, baik itu guru, ustad, tukang ceramah tidak menampilkan sisi subtantif dari agama. Sisi yang sering dibicarakan malah hal-hal yang remeh-temeh: bagaimana biar dapat anak yang saleh, agar dapat jodoh, biar doa dan keinginan terkabul, dan lain-lain yang jauh dari inti agama.
Sisi terdalam dan titik temu antar agama jarang diuraikan: bagaimana membina perbedaan, membuka diri kepada kelompok lain, dan rasa tanggungjawab sebagai sesama anak-bangsa.
Pendidikan agam subtantif dengan penekanan terhadap nilai terdalam dari setiap agama akan melahirkan anak bangsa yang berkarakter. Berkarakter dalam pengertian menghargai sesama manusia; tidak mempertentangkan antara Keislaman dan Keindonesian. Justru berusaha merawat kedua-duanya.
Bila penekanan terhadap nilai-nilai inti dari agama dan terus menerus untuk mengampanyekannya maka akan tercipta genarasi yang beradab; mencintai sesama, dan menyayangi yang lain. Bila ini yang terjadi, maka rasa persatuan akan terwujud