Potensi intoleransi agama di sekolah bukanlah tema diskusi anyar. Imam Tolkhah misalnya, ia sudah meneliti potensi intoleransi keagamaan di sekolah pada tahun 2013. Salah satu hasil penelitiannya ia menulis bahwa terdapat sebagian siswa yang memiliki potensi intoleransi keagamaan. Di antara indikasinya adalah mereka memberikan dukungan pada kelompok-kelompok yang berperilaku diskriminatif, tidak memberikan penghargaan, tidak menghendaki eksistensi pihak lain yang memiliki paham atau aliran keagamaan berbeda.
Potensi intoleransi secaman ini merupakan pekerjaan rumah (PR) yang mudah untuk diselesaikan. Karena, guru agama mesti mengajarkan kepada siswa bahwa agama yang diyakini merupakan agama yang paling baik dan paling benar. Di sisi lain, saat guru ingin mengajarkan toleransi, mereka juga mengajarkan kepada siswa bahwa tidak diperkenankan menyalahkan orang lain yang tidak seiman. Di sini, guru diharuskan memiliki ilmu yang mumpuni dalam bidang toleransi dan keluwesan dalam mengajarkan kepada siswa.
Sebagai misal, jika guru adalah beragama Islam, maka ia mesti mengetahui bahwa perbedaan adalah sunatullah. Tidak sedikit ayat al-Qur’an yang menerangkan bahwa Allah SWT menciptakan manusia dengan penuh keragaman. Beberapa di antaranya adalah, “Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka, apakah kamu (hendak) memaksa semua manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman?” (QS. Yunus [10]: 99).
Baca juga :Bangun Generasi Toleran dengan Pendidikan Agama Substantif!
Terkait ajaran toleransi, Allah SWT berfirman, “Hai Manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu.” (QS. Al-Hujurat [49]: 13).
Allah SWT juga tidak melarang umat muslim untuk berinteraksi dengan penganut agama lain yang tidak memusuhi agama Islam. Di dalam al-Qur’an, Allah SWT berfirman, “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya, Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. al-Mumtahanah [60]: 8).
Pengetahuan agama yang toleran sebagaima yang difirmankan oleh Allah SWT tersebut mesti menjadi perhatian para guru. Karena jika tidak, justru mereka akan menjadi pemantik virus intoleransi yang berdampak pada radikalisme dan terorisme. Zuly Qodir memaparkan bahwa salah satu penyebab terjadinya kekerasan atas nama agama adalah persoalan pendidikan.
Qodir (2016) menulis bahwa persoalan pendidikan yang lebih menekankan pada aspek ajaran kekerasan dari agama, termasuk pendidikan yang lebih menekankan aspek indoktrinasi, tidak memberikan ruang diskusi tentang suatu masalah. Oleh sebab itu, pendidikan semacam itu merupakan masalah lain lagi yang sangat mungkin mendorong terjadinya radikalisasi karena kebebalan perspektif pendidikan agama.
Di samping itu, guru mesti luwes dalam mengajarkan pendidikan toleransi antar-umat beragama. Salah satu keluwesan adalah dengan mendidik siswa sesuai dengan budaya lokal masing-masing. Guru bisa mengajak para siswa untuk berinteraksi dengan penganut agama lain yang hidup rukun. Para guru juga bisa mengajak para siswa untuk belajar bekerja sama dengan penganut agama lain sehingga sejak dini sudah tertanam jiwa kebersamaan dan mampu berinteraksi dengan kelompok lain dengan baik.
Wallahu a’lam.